Kekerasan,
No !GuruWibawa, Yes !
Oleh
:
ISNEN
WIDIYANTI, S.Pd
Guru
MTs N Model Babakan
Jika anak
dibesarkan dengan celaan, maka ia belajar memaki.
Jika anak
dibesarkan dengan permusuhan, maka ia belajar berkelahi.
Jika anak
dibesarkan dengan hinaan, maka ia belajar menyesali diri.
Jika anak
dibesarkan dengan dorongan, maka ia belajar percaya diri.
Jika anak
dibesarkan dengan toleransi, maka ia belajar menaruh kepercayaan.
Jika anak
dibesarkan dengan sebaik-baik perlakuan, maka ia beajar berlaku adil.
Jika anak
dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, maka ia menemukan cinta
dalamkehidupan.
Begitulah
anak selalu belajar dalam kehidupannya
(Ajaran Dorothy Law Nolte )
Kondisi sistem pendidikan negeri ini
yang carut-marut menjadikan semakin banyak tindakan kriminal, kekerasan dan
pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi. Kekerasan bukanlah hal yang aneh dan luar biasa di
negeri ini, karena terjadi hampir disetiap tempat baik di rumah, masyarakat
maupun sekolah. Di media elektronik dan cetak, hampir setiap hari kita disuguhi
berita tentang kekerasan mulai dari pembunuhan, penganiayaan, pemukulan,
pelecahan dan sebagainya.
Dalam dunia pendidikan di Indonesia,
aksi kekerasan juga sering terjadi. Pada September 2011 diberitakan tujuh—ada
yang mengatakan 15—murid kelas VIII dan IX salah satu SMP di Porong, Sidoarjo,
Jawa Timur, dijemur sebelum dipukul dan ditendang guru mereka.Alasannya,
ketujuh murid itu bermain bola selama jam istirahat. Masih di bulan yang sama,
sembilan murid sebuah SD di Binjai, Sumatera Utara, dilaporkan menderita
kesakitan setelah tangan dan kaki mereka dipukul dengan penggaris kayu dan
hidung mereka dijepit tangan oleh guru mereka. Alasannya, kesembilan murid itu
tak sanggup menghafalkan nama 33 provinsi.
Cerita-cerita di atas hanyalah
segelintir kasus dari sekian banyaknya kasus kekerasan yang sering dan hingga
kini masih terjadi di sekolah. Hubungan guru-murid yang diwarnai dengan
kekerasan semacam itu merupakan salah satu bentuk kekerasan yang terjadi di
lingkungan sekolah. Bentuk-bentuk kekerasan lainnya, bullying (pelecehan
antarmurid) dan tawuran pelajar.
Meski demikian, perhatian sengaja
penulis tujukan pada isu kekerasan guru terhadap murid karena, Pertama,
kedua pihak inilah yang sangat menentukan proses belajar-mengajar di kelas. Kedua,
menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), pelaku terbanyak kekerasan
terhadap anak setelah orang terdekat korban adalah guru. Berdasarkan laporan
KPAI tahun 2007, misalnya, disebutkan bahwa dari 555 kasus kekerasan yang
menimpa anak, 18% pelakunya adalah orang terdekat dan 11,8% adalah guru
(VIVAnews, 24 Oktober 2008).Ketiga, Hasil penelitian UNICEF di Jawa
Tengah, Sulawesi Selatan dan Sumatera Utara tahun2006 juga menunjukkan bahwa
kekerasan terhadap anak sebagian besar (80 persen) dilakukan olehguru. Selain
itu, hasil penelitian tersebut memberikan kesadaran kepada kita bahwa kekerasan
pada anak tidak hanya berupa kekerasan fisik, namun bisa berupa kekerasan non
fisik, seperti pemberian tugas berlebihan, memberi target prestasi terlalu
tinggi, hingga memaksa anak melakukan sesuatu diluar minatnya (JP, 21 November
2007).Keempat, Hasil penelitian Philip juga demikian, bahwa di Indonesia
cukup banyak guru yang menilai cara kekerasan masih efektif untuk mengendalikan
siswa. Akibatnyaadalah terjadi traumatis psikologis, dendam yang mendalam,
makin kebal hukuman, dancenderung akan melampiaskan kemarahan dan agresif
terhadap siswa lain yang dianggap lemah(Philip, 2007). Hal ini mengindikasikan
bahwa di lingkungan sekolah, guru menjadi unsur pentingdalam tindak kekerasan
yang bisa berdampak serius bagi anak didik.
Mengapa guru melakukan aksi kekerasan
terhadap murid? Sebagaimana kita ketahui tentang mitos wibawa dimata sebagian
guru yang beranggapan bahwa kekerasan bisa menjadi sarana untuk menunjukkan
kewibawaan di hadapan murid-murid. Maksudnya, guru pada situasi-situasi
tertentu memerlukan kekerasan agar murid mendengarkan dan menghormatinya.
Ketika siswa atau siswi menunduk dengan raut muka penuh ketakutan, wibawa telah
ditegakkan. Begitu anggapan yang dipercayai selama ini.
Wibawa itu tidak perlu dicari, tapi
melekat dalam diri pendidik dengan sendirinya. Mari kita tengok cerita seorang
guru yang menginspirasi sehingga disayangi dan dihormati murid. Masih ingat
Prof. Emil Salim? Beliau dipercaya menjabat sebagai menteri lingkungan hidup
selama tiga periode berturut-turut (1978—1993). Komitmen terhadap pelestarian
lingkungan di Indonesia, seperti beliau akui, terinspirasi dari guru-gurunya
terdahulu.
Suatu ketika salah satu gurunya,
berkebangsaan Belanda yang sangat peduli terhadap alam, mengajak
murid-muridnya, termasuk Emil kecil, pergi ke hutan. Sesaat hendak menyeberangi
sungai, mereka dikejutkan sekawanan lintah yang akhirnya mengacaukan perjalanan
mereka.
Dengan ketelatenannya, guru tersebut
mengajak murid-muridnya berhenti sejenak untuk memahami apa makna dari pertanda
alam itu. Diletakkannya seekor lintah di atas daun, kemudian ia meminta
murid-muridnya memperhatikan perilaku pacet. Alhasil, kepala pacet itu selalu
bergerak-gerak menghadap ke arah datangnya sinar matahari. Lantas, ia
menjelaskan sembari berpesan agar murid-murid tidak perlu khawatir setiap kali
tersesat di hutan karena pacet bisa dijadikan sebagai kompas alami.
Kecintaannya terhadap alam dan
ketelatenannya mendidik murid-murid membuat Emil kecil menaruh rasa hormat pada
gurunya. Bahkan, Emil kecil dan teman-temannya semakin menyayangi guru tersebut
yang telah berhasil membukakan alam pikiran dan mata hati mereka dalam memaknai
peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Dedikasi guru itulah yang juga
mengantarkan Emil kecil menjadi salah satu tokoh paling berpengaruh dalam
bidang lingkungan hidup di Indonesia.
Oleh karena itu, tidaklah benar mitos yang
beranggapan jika kekerasan dibenarkan untuk menegakkan wibawa guru di hadapan
anak didik. Karena jika selama guru mencurahkan segenap tenaga dan pikirannya
untuk menginspirasi murid-muridnya, kewibawaan akan mengikutinya. Guru yang
menjadi inspirasi bagi aksi kekerasan adalah preman yang tempatnya bukan di
sekolah.
Kekerasan oleh guru pada siswa menurut
saya disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah :Pertama,kurangnya pengetahuan guru
bahwa kekerasan itu tidak efektif untuk memotivasi siswaatau merubah tingkah
laku. Selama ini kekerasan dilakukan guru dengan dalih untuk mendisiplinkan
siswa, justru kekerasan akan mengakibatkan hal-hal yang akan berdampak bagimasa
depan anak baik dari perkembangan, pertumbuhan dan kepribadiannya. Akibat
kekerasanakan membuat perilaku anak menjadi tidak konsisten yakni “patuh di
depan dan berani di belakang guru”.Kedua,adanya
persepsi yang parsial menilai siswa. Misalnya, ketika siswamelanggar, bukan
sebatas menangani, tetapi seharusnya mencari tahu apa yang melandasitindakan
itu.Ketiga,adanya hambatan
psikologis, sehingga dalam menangani masalah guru lebihsensitif dan reaktif.Keempat,adanya tekanan kerja; adanya
target (standarisasi) yang harusdipenuhi guru seperti kurikulum, materi,
prestasi yang harus dicapai siswa.Kelima,
pola yangdianut adalah mengedepankan kepatuhan dan ketaatan pada siswa,
mengajar satu arah (dari guruke murid).Keenam,muatan
kurikulum yang menekankan pada kemampuan kognitif dancenderung mengabaikan
kemampuan afektif, sehingga guru dalam mengajar cenderungsuasananya kering,
stressful dan tidak menarik, padahal mereka dituntut untuk mencetak siswa-siswa
yang berprestasi. Ketujuh,adanya
tekanan ekonomi pada guru yang akhirnya menjelmamenjadi bentuk kepribadian yang
tidak stabil, seperti berfikir pendek, emosional, mudah goyah,ketika
merealisasikan rencana-rencana yang sulit diwujudkan.
Karena
itu solusi yang bisa ditawarkan untuk menghentikan kekerasan ini adalah :Pertama,guru dansemua warga sekolah
membuat kesepakatan untuk menerapkan pendidikantanpa kekerasan di sekolah.Kedua,mendorong dan mengembangkan humanisasipendidikandengan
menyatupadukan kesadaran hati dan pikiran, membutuhkan keterlibatan mental
dantindakan sekaligus, serta mengembangkan suasana belajar yang meriah,
gembira, denganmemadukan potensi fisik dan psikis menjadi suatu kekuatan yang
integral.Ketiga,lebihmengedepankan
penghargaan dari pada hukuman.Keempat,terus
menerus membekali guruuntuk menambah wawasan pengetahuan, kesempatan,
pengalaman baru untuk mengembangkan kreativitas mereka.Kelima,adanyakonseling , tidak hanya siswa yang membutuhkan
bimbingan,tetapi juga guru. Sebab guru juga mengalami masa sulit yang
membutuhkan dukungan, penguatan dan bimbingan untuk menemukan jalan keluar yang
terbaik. Keenam, Segeramemberikan
pertolongan bagi siapa pun juga yang mengalami tindakan kekerasan di sekolah,
danmenindaklanjuti serta mencari solusi alternatif yang terbaik. Sehingga kekerasan
tidak menjadihal yang “biasa dan lumrah” tetapi menjadi suatu tindakan yang
harus mendapat perhatian serius.