sugeng rawuh


widget

Rabu, 13 November 2013

Kekerasan, No ! Guru Wibawa, yes !

Kekerasan, No !GuruWibawa, Yes  !
Oleh :
ISNEN WIDIYANTI, S.Pd
Guru MTs  N Model Babakan

Jika anak dibesarkan dengan celaan, maka ia belajar memaki.
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, maka ia belajar berkelahi.
Jika anak dibesarkan dengan hinaan, maka ia belajar menyesali diri.
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, maka ia belajar percaya diri.
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, maka ia belajar menaruh kepercayaan.
Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baik perlakuan, maka ia beajar berlaku adil.
Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, maka ia menemukan cinta dalamkehidupan.

Begitulah anak selalu belajar dalam kehidupannya
(Ajaran  Dorothy Law Nolte )

Kondisi sistem pendidikan negeri ini yang carut-marut menjadikan semakin banyak tindakan kriminal, kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi. Kekerasan bukanlah hal yang aneh dan luar biasa di negeri ini, karena terjadi hampir disetiap tempat baik di rumah, masyarakat maupun sekolah. Di media elektronik dan cetak, hampir setiap hari kita disuguhi berita tentang kekerasan mulai dari pembunuhan, penganiayaan, pemukulan, pelecahan dan sebagainya.
Dalam dunia pendidikan di Indonesia, aksi kekerasan juga sering terjadi. Pada September 2011 diberitakan tujuh—ada yang mengatakan 15—murid kelas VIII dan IX salah satu SMP di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, dijemur sebelum dipukul dan ditendang guru mereka.Alasannya, ketujuh murid itu bermain bola selama jam istirahat. Masih di bulan yang sama, sembilan murid sebuah SD di Binjai, Sumatera Utara, dilaporkan menderita kesakitan setelah tangan dan kaki mereka dipukul dengan penggaris kayu dan hidung mereka dijepit tangan oleh guru mereka. Alasannya, kesembilan murid itu tak sanggup menghafalkan nama 33 provinsi.
Cerita-cerita di atas hanyalah segelintir kasus dari sekian banyaknya kasus kekerasan yang sering dan hingga kini masih terjadi di sekolah. Hubungan guru-murid yang diwarnai dengan kekerasan semacam itu merupakan salah satu bentuk kekerasan yang terjadi di lingkungan sekolah. Bentuk-bentuk kekerasan lainnya, bullying (pelecehan antarmurid) dan tawuran pelajar.
Meski demikian, perhatian sengaja penulis tujukan pada isu kekerasan guru terhadap murid karena, Pertama, kedua pihak inilah yang sangat menentukan proses belajar-mengajar di kelas. Kedua, menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), pelaku terbanyak kekerasan terhadap anak setelah orang terdekat korban adalah guru. Berdasarkan laporan KPAI tahun 2007, misalnya, disebutkan bahwa dari 555 kasus kekerasan yang menimpa anak, 18% pelakunya adalah orang terdekat dan 11,8% adalah guru (VIVAnews, 24 Oktober 2008).Ketiga, Hasil penelitian UNICEF di Jawa Tengah, Sulawesi Selatan dan Sumatera Utara tahun2006 juga menunjukkan bahwa kekerasan terhadap anak sebagian besar (80 persen) dilakukan olehguru. Selain itu, hasil penelitian tersebut memberikan kesadaran kepada kita bahwa kekerasan pada anak tidak hanya berupa kekerasan fisik, namun bisa berupa kekerasan non fisik, seperti pemberian tugas berlebihan, memberi target prestasi terlalu tinggi, hingga memaksa anak melakukan sesuatu diluar minatnya (JP, 21 November 2007).Keempat, Hasil penelitian Philip juga demikian, bahwa di Indonesia cukup banyak guru yang menilai cara kekerasan masih efektif untuk mengendalikan siswa. Akibatnyaadalah terjadi traumatis psikologis, dendam yang mendalam, makin kebal hukuman, dancenderung akan melampiaskan kemarahan dan agresif terhadap siswa lain yang dianggap lemah(Philip, 2007). Hal ini mengindikasikan bahwa di lingkungan sekolah, guru menjadi unsur pentingdalam tindak kekerasan yang bisa berdampak serius bagi anak didik.
Mengapa guru melakukan aksi kekerasan terhadap murid? Sebagaimana kita ketahui tentang mitos wibawa dimata sebagian guru yang beranggapan bahwa kekerasan bisa menjadi sarana untuk menunjukkan kewibawaan di hadapan murid-murid. Maksudnya, guru pada situasi-situasi tertentu memerlukan kekerasan agar murid mendengarkan dan menghormatinya. Ketika siswa atau siswi menunduk dengan raut muka penuh ketakutan, wibawa telah ditegakkan. Begitu anggapan yang dipercayai selama ini.
Wibawa itu tidak perlu dicari, tapi melekat dalam diri pendidik dengan sendirinya. Mari kita tengok cerita seorang guru yang menginspirasi sehingga disayangi dan dihormati murid. Masih ingat Prof. Emil Salim? Beliau dipercaya menjabat sebagai menteri lingkungan hidup selama tiga periode berturut-turut (1978—1993). Komitmen terhadap pelestarian lingkungan di Indonesia, seperti beliau akui, terinspirasi dari guru-gurunya terdahulu.
Suatu ketika salah satu gurunya, berkebangsaan Belanda yang sangat peduli terhadap alam, mengajak murid-muridnya, termasuk Emil kecil, pergi ke hutan. Sesaat hendak menyeberangi sungai, mereka dikejutkan sekawanan lintah yang akhirnya mengacaukan perjalanan mereka.
Dengan ketelatenannya, guru tersebut mengajak murid-muridnya berhenti sejenak untuk memahami apa makna dari pertanda alam itu. Diletakkannya seekor lintah di atas daun, kemudian ia meminta murid-muridnya memperhatikan perilaku pacet. Alhasil, kepala pacet itu selalu bergerak-gerak menghadap ke arah datangnya sinar matahari. Lantas, ia menjelaskan sembari berpesan agar murid-murid tidak perlu khawatir setiap kali tersesat di hutan karena pacet bisa dijadikan sebagai kompas alami.
Kecintaannya terhadap alam dan ketelatenannya mendidik murid-murid membuat Emil kecil menaruh rasa hormat pada gurunya. Bahkan, Emil kecil dan teman-temannya semakin menyayangi guru tersebut yang telah berhasil membukakan alam pikiran dan mata hati mereka dalam memaknai peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Dedikasi guru itulah yang juga mengantarkan Emil kecil menjadi salah satu tokoh paling berpengaruh dalam bidang lingkungan hidup di Indonesia.
Oleh karena itu, tidaklah benar mitos yang beranggapan jika kekerasan dibenarkan untuk menegakkan wibawa guru di hadapan anak didik. Karena jika selama guru mencurahkan segenap tenaga dan pikirannya untuk menginspirasi murid-muridnya, kewibawaan akan mengikutinya. Guru yang menjadi inspirasi bagi aksi kekerasan adalah preman yang tempatnya bukan di sekolah.
Kekerasan oleh guru pada siswa menurut saya disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah :Pertama,kurangnya pengetahuan guru bahwa kekerasan itu tidak efektif untuk memotivasi siswaatau merubah tingkah laku. Selama ini kekerasan dilakukan guru dengan dalih untuk mendisiplinkan siswa, justru kekerasan akan mengakibatkan hal-hal yang akan berdampak bagimasa depan anak baik dari perkembangan, pertumbuhan dan kepribadiannya. Akibat kekerasanakan membuat perilaku anak menjadi tidak konsisten yakni “patuh di depan dan berani di belakang guru”.Kedua,adanya persepsi yang parsial menilai siswa. Misalnya, ketika siswamelanggar, bukan sebatas menangani, tetapi seharusnya mencari tahu apa yang melandasitindakan itu.Ketiga,adanya hambatan psikologis, sehingga dalam menangani masalah guru lebihsensitif dan reaktif.Keempat,adanya tekanan kerja; adanya target (standarisasi) yang harusdipenuhi guru seperti kurikulum, materi, prestasi yang harus dicapai siswa.Kelima, pola yangdianut adalah mengedepankan kepatuhan dan ketaatan pada siswa, mengajar satu arah (dari guruke murid).Keenam,muatan kurikulum yang menekankan pada kemampuan kognitif dancenderung mengabaikan kemampuan afektif, sehingga guru dalam mengajar cenderungsuasananya kering, stressful dan tidak menarik, padahal mereka dituntut untuk mencetak siswa-siswa yang berprestasi. Ketujuh,adanya tekanan ekonomi pada guru yang akhirnya menjelmamenjadi bentuk kepribadian yang tidak stabil, seperti berfikir pendek, emosional, mudah goyah,ketika merealisasikan rencana-rencana yang sulit diwujudkan.

Karena itu solusi yang bisa ditawarkan untuk menghentikan kekerasan ini adalah :Pertama,guru dansemua warga sekolah membuat kesepakatan untuk menerapkan pendidikantanpa kekerasan di sekolah.Kedua,mendorong dan mengembangkan humanisasipendidikandengan menyatupadukan kesadaran hati dan pikiran, membutuhkan keterlibatan mental dantindakan sekaligus, serta mengembangkan suasana belajar yang meriah, gembira, denganmemadukan potensi fisik dan psikis menjadi suatu kekuatan yang integral.Ketiga,lebihmengedepankan penghargaan dari pada hukuman.Keempat,terus menerus membekali guruuntuk menambah wawasan pengetahuan, kesempatan, pengalaman baru untuk mengembangkan kreativitas mereka.Kelima,adanyakonseling , tidak hanya siswa yang membutuhkan bimbingan,tetapi juga guru. Sebab guru juga mengalami masa sulit yang membutuhkan dukungan, penguatan dan bimbingan untuk menemukan jalan keluar yang terbaik. Keenam, Segeramemberikan pertolongan bagi siapa pun juga yang mengalami tindakan kekerasan di sekolah, danmenindaklanjuti serta mencari solusi alternatif yang terbaik. Sehingga kekerasan tidak menjadihal yang “biasa dan lumrah” tetapi menjadi suatu tindakan yang harus mendapat perhatian serius.