PIWULANG DALAM TEMBANG MACAPAT
PANGKUR
(Menelaah materi pembelajaran Bahasa Jawa
Kelas VII Semester Gasal Kurtilas)
Oleh :
Isnen
Widiyanti, S.Pd
Kearifan lokal etnik Jawa yang
berupa piwulang (ajaran) budi pekerti luhur antara lain terdapat dalam tembang
macapat. Kearifan lokal tersebut berkembang dikalangan masyarakat melalui
tradisi lisan yang berupa kebiasaan melantunkan tembang macapat baik secara
perorangan maupun kolektif. Tembang macapat adalah tembang tradisional
masyarakat Jawa. Kalau dilihat dari kerata basa (Akronim), macapat berarti
macane papat-papat karena cara membacanya yaitu setiap empat wanda (suku kata) berhenti.
Salah satu pakar tembang
mengatakan bahwa tembang bisa dipakai sebagai sarana membangun kehalusan budi
dan cita rasa keindahan. Karena itu, jika didalam larik-larik tembang itu
disisipkan ajaran-ajaran luhur, maka dengan mudah dapat diingat dan diterapkan
dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan
melantunkan tembang otomatis masyarakat juga menjadi hafal akan ajaran-ajaran
yang terselip di dalamnya.
Kearifan lokal etnik Jawa tersebut
antara lain terdapat dalam serat Wulangreh pupuh Pangkur karya Pakubuwana IV
yang terdiri dari 17 pada (bait). Pesan penulis tersebut berupa piwulang
(ajaran) tentang tatakrama, perbuatan yang baik dan tidak baik, serta jenis
watak manusia di dunia ini. Berikut isi dari tembang Pangkur dalam serat
Wulangreh serta penjelasannya secara urut :
1.
Sekar pangkur kang winarna,
lelabuhan kang
kanggo wong ngaurip,
ala lan becik
puniku,
prayoga kawruhana,
adat waton puniku
dipunkadulu,
miwah ingkang tata
krama,
den kaesthi siyang
ratri.
Nasihat ini dibalut dengan tembang
Pangkur. Seyogyanya kau memahami hakikat pengabdian bagi kehidupan, tentang
baik dan buruk perlu kau ketahui. Pahami pula adat dan aturan, serta siang
malam jangan kau lupakan tata krama.
2.
Deduga lawan prayoga,
myang watara reringa
aywa lali,
iku parabot satuhu,
tan kena tiningala,
tangi lungguh
angadeg tuwin lumaku,
angucap meneng
anendra,
duga-duga nora kari.
Jangan kau lupakan pertimbangan, boleh
sedikit curiga karena hal itu merupakan (keharusan) yang tidak boleh kau
lupakan, baik ketka sedang terjaga, duduk, bangun, maupun berjalan, diam,
berbicara, maupun tidur (jangan lupakan nalar).
3.
Miwah ta sabarang karya,
ing prakara kang
gedhe lan kang cilik,
papat iku aja
kantun,
kanggo sadina-dina,
rina wengi nagara
miwah ing dhusun,
kabeh kang padha
ambegan,
papat iku aja lali.
Demikian pula pertimbangan empat perkara
dalam segala hal baik yang besar maupun yang kecil jangan kau lupakan, terapkan
sehari-hari, siang atau malam, di kota maupun di desa. (Hal ini berlaku) untuk
semua makhluk yang bernapas.
4.
Kalamun ana manungsa,
anyinggahi dugi
lawan prayogi,
iku watake tan
patut,
awor lawan wong
kathah,
wong degsura
ndaludur tan wruh ing edur,
aja sira
pedhak-pedhak,
nora wurung neniwasi.
Jika ada manusia yang melupakan
pertimbangan nalar, itu tak patut berbaur dengan orang banyak. Janganlah kau
dekati orang yang tak tahu adat dan hanya menuruti kemauannya sendiri, (orang
seperto itu) akan membawa kehancuran.
5.
Mapan watake manungsa,
pan ketemu ing laku
lawan linggih,
solah
muna-muninipun,
pan dadi panengeran
ingkang,
kang apinter kang
bodho miwah kang luhur,
kang sugih lan kang
melarat,
tanapi manusa
singgih.
Ciri perilaku manusia itu tampak
dari bagaimana caranya berjalan dan duduk, tindak-tanduk dalam berbicara.
Meskipun orang itu pandai atau bodoh, berderajat tinggi atau hina, kaya atau
miskin
6.
Ulama miwah maksiyat,
wong kang kendel
tanapi wong kang jirih,
durjana bebotoh
kaum,
lanang wadon pan
padha,
panitike manusa
wateke wewatekipun,
apa dene wong kang
nyata,
ing pangawruh kang
wus pasthi.
Ulama atau penjahat, pemberani maupun
penakut, pencuri maupun bebotoh, atau lelaki maupun perempuan semua memiliki
ciri-ciri yang sama.
7.
Tinitik ing solah muna,
lawan muni ing laku
lawan linggih,
iku panengeran
agung,
winawas ginrahita,
pramilane ing wong
kuna-kuna iku,
yen amawas ing
sujanma,
datan kongsi mindho
gaweni.
Terlihat dari tindak-tanduk, berbicara,
berjalan, dan duduk, itu cirri utama yang mudah diketahui dan dirasakan. Oleh
karena itu, orang jaman duu tidak pernah salah dalam menilai orang.
8.
Ginulang sadina-dina,
Wiwekane mindeng basa basuki,
Ujubriya punkibiri,
Sumungah tan kanggonan,
Mung sumendhe ing ngarsanira hyang agung,
Ujar sirik kang rineksa,
Kautaman ulah wadi.
Semua itu dilakukan setiap hari agar
berbicara baik setiap hari, tingkah lakunya baik, yang jelek dijauhi. Semua itu
senantiasa mendekat pada Gusti, agar manusia dapat menjaga tingkah laku yang
kurang baik dan yang dicari hanya kebaikan.
9.
Masa mengko mapan arang,
kang katemu ing basa
kang basuki,
ingkang lumrah wong
puniku,
dhengki srei lan
dora,
iren meren dahwen pinasten kumingsun,
opene nora prasaja,
jail mutakil
bakiwit.
Masa sekarang, sangat sulit menemukan
perilaku yang baik. Umumnya (manusia sekarang) itu dengki, serakah, dan
pembohong, malas, iri, senang mencela, sombong, tidak jujur, jahil, banyak
curiga, dan curang
10.
Alaning liyan den andhar,
ing becike liyan dipunsimpeni,
becike dhewe
ginunggung,
kinarya pasamuan,
nora ngrasa alane
dhewe ngendhukur,
wong mangkono
wateknya,
nora kena
denpedhaki.
Kejelekan orang lain disebarluaskan,
sementara kebaikan (orang lain) disembunyikan, kebaikannya sendiri
disanjung-sanjung dan dibicarakan dalam pertemuan, tidak merasa kejelekannya
sendiri bertumpuk. Orang yang bertabiat seperti itu tidak layak kau dekati.
11.
Iku wong durjana murka,
nora nana mareme
jroning ati,
sabarang
karepanipun,
nadyan wusa katekan,
karepane nora mari
saya banjur,
luwamah lawan
amarah,
iku kang den tut
wuri.
Orang seperti itu disebut penjahat
serakah, tidak pernah merasa puas meskipun semua keinginannya telah terpenuhi,
kemauannya tidak ernah berhenti, malah semakinmenjadi-jadi, menurutkan hawa
nafsu lawamah dan amarah.
12.
Ing sabarang tingkah polah,
ing pangucap tanapi
lamun linggih,
sungkan asor
ambekipun,
pan lumuh
kaungkulan,
ing sujanma
pangrasane dhewekipun,
nora nana kang memadha,
angrasa luhur
pribadi.
Segala tingkah laku, dalam berbicara
maupun duduk, tabiatnya tidak mau dikalahkan oleh orang lain, tidak mau ada
yang menyamai, ia merasa dirinya paling tinggi.
13.
Aja nedya katempelan,
ing wewatek kang tan
panates ing budhi,
watek rusuh nora
urus,
tunggal lawan manungsa,
dipun sami karya
labuhan kang patut,
darapon dadi
tuladha,
tinuta ing wuri.
Jangan sampai kau dihinggapi tabiat yang
tidak pantas karena perilaku jahat seperti itu tidak patut disandang manusia.
Seyogyanya berbuatlah kebajikan sehingga menjadi suri teladan dan panutan di
kemudian hari.
14.
Aja lunyu lemer genjah,
angrong pasanakan
nyumur gumuling,
ambubut arit puniku,
watek datan raharja,
pan wong lunyu nora
pantes dipunenut,
monyar-manyir tan
anteban,
dela lemeran puniku.
Janganlah bersikap lunyu lemer
genjah, angrong pasanakan nyumur gumuling, dan ambubut
arit karena sifat itu tidak akan menyelamatkanmu, tidak patut kau anut.
Watak lunyu itu artinya kata-katanya tidak bisa dipegang, sedangkan sifat lemer
15.
Para penginan tegesnya,
genjah iku cak-cekan
barang kardi,
angrong pasanak liripun,
remen ulah miruda,
mring rabine sadulur
miwah ing batur,
mring sanak myang
prasanakan,
sok senenga den
ramuhi.
Adalah mudah tergiur sesuatu. Genjah
artinya senang berkata jorok, angrong pasanakan artinya senang berselingkuh
dengan istri orang, dan jika sudah mencintai istri sahabat atau kerabat harus
terlaksana.
16.
Nyumur guling linira,
ambeladhah nora duwe
wewadi,
nora kene
rubung-rubung,
wewadine den umbar,
mbuntut arit punika
pracekanipun,
ambener ing
pangarepan,
nanging nggarethel
ing wuri.
Nyumur gumuling artinya tidak dapat
menyimpan rahasia, jika mendengar kabar (meskipun sebagian) langsung
disebarluaskan. Mbuntut arit artinya di awal terdengar baik tapi menggerutu di
belakang.
17.
Sabarang kang dipun ucap,
nora wurung amrih
oleh pribadi,
iku labuhan patut,
aja na nedya nulad,
ing wateking nenem
prakara punika,
sayogyane ngupayaa,
lir mas tumimbul ing
warih.
Semua yang diucapkannya hanya untuk
keuntungan diri sendiri. Hal itu bukan kebajikan yang baik, dan jangan ada yang
meniru keenam sifat di atas. Seyogyanya berlakulan seperti emas yang tersembul
di permukaan. (mas tumimbul merupakan isyarat pola tembang berikutnya yaitu
maskumambang).
Dari uraian isi
tembang di atas disimpulkan bahwa piwulang tatakrama dalam
tembang tersebut cocok sekali untuk
siswa yang sedang belajar di sekolah. Piwulang tersebut juga masih cocok jika
ditiru dan dilaksanakan para siswa jaman sekarang. Tidak hanya untuk para siswa,
para pemuda dan masyarakat umumpun masih bisa menggunakan piwulang tersebut.
Piwulang dalam tembang tersebut sangat adi luhung karena nilai filsafat yang
dimilikinya tinggi sekali. Kalau piwulang tersebut dilaksanakan maka para siswa
pasti tertata dalam tingkah laku, unggah-ungguh, lan perilakunya dalam
kehidupan bermasyarat.
Selain
tatakrama, didalam tembang tersebut juga berisi piwulang tentang perbuatan yang
baik dan tidak. Perbuatan yang baik harus dilaksanakan dan perbuatan yang buruk
harus ditinggalkan. Kalau piwulang ini dilaksanakan maka para siswa dikatakan
memiliki nilai karakter yang bagus. Sebaliknya jika tidak maka para siswa akan
rusak mentalnya alias miskin nilai karakter. Dan tidak memiliki watak berbudi
bawa laksana. Kalau demikian rugi hidupnya dan berarti hidupnya tidak
bermanfaat bagi sesama.
Daftar Pustaka
Serat Wulangreh mangkunegara IV
Suratno, Pardi.2006. Sang Pemimpin (Wulangreh). Yogyakarta: Adiwacana.