sugeng rawuh


widget

Senin, 04 Januari 2016

Piwulang Dalam Tembang Macapat Pangkur



PIWULANG DALAM TEMBANG MACAPAT PANGKUR
(Menelaah materi pembelajaran Bahasa Jawa Kelas VII Semester Gasal Kurtilas)
Oleh :
Isnen Widiyanti, S.Pd

Kearifan lokal etnik Jawa yang berupa piwulang (ajaran) budi pekerti luhur antara lain terdapat dalam tembang macapat. Kearifan lokal tersebut berkembang dikalangan masyarakat melalui tradisi lisan yang berupa kebiasaan melantunkan tembang macapat baik secara perorangan maupun kolektif. Tembang macapat adalah tembang tradisional masyarakat Jawa. Kalau dilihat dari kerata basa (Akronim), macapat berarti macane papat-papat karena cara membacanya yaitu setiap empat wanda (suku kata) berhenti.
Salah satu pakar tembang mengatakan bahwa tembang bisa dipakai sebagai sarana membangun kehalusan budi dan cita rasa keindahan. Karena itu, jika didalam larik-larik tembang itu disisipkan ajaran-ajaran luhur, maka dengan mudah dapat diingat dan diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat.  Dengan melantunkan tembang otomatis masyarakat juga menjadi hafal akan ajaran-ajaran yang terselip di dalamnya.
Kearifan lokal etnik Jawa tersebut antara lain terdapat dalam serat Wulangreh pupuh Pangkur karya Pakubuwana IV yang terdiri dari 17 pada (bait). Pesan penulis tersebut berupa piwulang (ajaran) tentang tatakrama, perbuatan yang baik dan tidak baik, serta jenis watak manusia di dunia ini. Berikut isi dari tembang Pangkur dalam serat Wulangreh serta penjelasannya secara urut :
1.       Sekar pangkur kang winarna,
lelabuhan kang kanggo wong ngaurip,
ala lan becik puniku,
prayoga kawruhana,
adat waton puniku dipunkadulu,
miwah ingkang tata krama,
den kaesthi siyang ratri.
 Nasihat ini dibalut dengan tembang Pangkur. Seyogyanya kau memahami hakikat pengabdian bagi kehidupan, tentang baik dan buruk perlu kau ketahui. Pahami pula adat dan aturan, serta siang malam jangan kau lupakan tata krama.
2.       Deduga lawan prayoga,
myang watara reringa aywa lali,
iku parabot satuhu,
tan kena tiningala,
tangi lungguh angadeg tuwin lumaku,
angucap meneng anendra,
duga-duga nora kari.
Jangan kau lupakan pertimbangan, boleh sedikit curiga karena hal itu merupakan (keharusan) yang tidak boleh kau lupakan, baik ketka sedang terjaga, duduk, bangun, maupun berjalan, diam, berbicara, maupun tidur (jangan lupakan nalar).
3.       Miwah ta sabarang karya,
ing prakara kang gedhe lan kang cilik,
papat iku aja kantun,
kanggo sadina-dina,
rina wengi nagara miwah ing dhusun,
kabeh kang padha ambegan,
papat iku aja lali.
 Demikian pula pertimbangan empat perkara dalam segala hal baik yang besar maupun yang kecil jangan kau lupakan, terapkan sehari-hari, siang atau malam, di kota maupun di desa. (Hal ini berlaku) untuk semua makhluk yang bernapas.
4.       Kalamun ana manungsa,
anyinggahi dugi lawan prayogi,
iku watake tan patut,
awor lawan wong kathah,
wong degsura ndaludur tan wruh ing edur,
aja sira pedhak-pedhak,
 nora wurung neniwasi.
 Jika ada manusia yang melupakan pertimbangan nalar, itu tak patut berbaur dengan orang banyak. Janganlah kau dekati orang yang tak tahu adat dan hanya menuruti kemauannya sendiri, (orang seperto itu) akan membawa kehancuran.
5.       Mapan watake manungsa,
pan ketemu ing laku lawan linggih,
solah muna-muninipun,
pan dadi panengeran ingkang,
kang apinter kang bodho miwah kang luhur,
kang sugih lan kang melarat,
tanapi manusa singgih.
 Ciri perilaku manusia itu tampak dari bagaimana caranya berjalan dan duduk, tindak-tanduk dalam berbicara. Meskipun orang itu pandai atau bodoh, berderajat tinggi atau hina, kaya atau miskin
6.         Ulama miwah maksiyat,
wong kang kendel tanapi wong kang jirih,
durjana bebotoh kaum,
lanang wadon pan padha,
panitike manusa wateke wewatekipun,
apa dene wong kang nyata,
ing pangawruh kang wus pasthi.
Ulama atau penjahat, pemberani maupun penakut, pencuri maupun bebotoh, atau lelaki maupun perempuan semua memiliki ciri-ciri yang sama.
7.       Tinitik ing solah muna,
lawan muni ing laku lawan linggih,
iku panengeran agung,
winawas ginrahita,
pramilane ing wong kuna-kuna iku,
yen amawas ing sujanma,
datan kongsi mindho gaweni.
 Terlihat dari tindak-tanduk, berbicara, berjalan, dan duduk, itu cirri utama yang mudah diketahui dan dirasakan. Oleh karena itu, orang jaman duu tidak pernah salah dalam menilai orang.
8.       Ginulang sadina-dina,
Wiwekane mindeng basa basuki,
Ujubriya punkibiri,
Sumungah tan kanggonan,
Mung sumendhe ing ngarsanira hyang agung,
Ujar sirik kang rineksa,
Kautaman ulah wadi.
Semua itu dilakukan setiap hari agar berbicara baik setiap hari, tingkah lakunya baik, yang jelek dijauhi. Semua itu senantiasa mendekat pada Gusti, agar manusia dapat menjaga tingkah laku yang kurang baik dan yang dicari hanya kebaikan.
9.       Masa mengko mapan arang,
kang katemu ing basa kang basuki,
ingkang lumrah wong puniku,
dhengki srei lan dora,
 iren meren dahwen pinasten kumingsun,
opene nora prasaja,
jail mutakil bakiwit.
 Masa sekarang, sangat sulit menemukan perilaku yang baik. Umumnya (manusia sekarang) itu dengki, serakah, dan pembohong, malas, iri, senang mencela, sombong, tidak jujur, jahil, banyak curiga, dan curang
10.   Alaning liyan den andhar,
 ing becike liyan dipunsimpeni,
becike dhewe ginunggung,
kinarya pasamuan,
nora ngrasa alane dhewe ngendhukur,
wong mangkono wateknya,
nora kena denpedhaki.
 Kejelekan orang lain disebarluaskan, sementara kebaikan (orang lain) disembunyikan, kebaikannya sendiri disanjung-sanjung dan dibicarakan dalam pertemuan, tidak merasa kejelekannya sendiri bertumpuk. Orang yang bertabiat seperti itu tidak layak kau dekati.
11.   Iku wong durjana murka,
nora nana mareme jroning ati,
sabarang karepanipun,
nadyan wusa katekan,
karepane nora mari saya banjur,
luwamah lawan amarah,
iku kang den tut wuri.
 Orang seperti itu disebut penjahat  serakah, tidak pernah merasa puas meskipun semua keinginannya telah terpenuhi, kemauannya tidak ernah berhenti, malah semakinmenjadi-jadi, menurutkan hawa nafsu lawamah dan amarah.
12.   Ing sabarang tingkah polah,
ing pangucap tanapi lamun linggih,
sungkan asor ambekipun,
pan lumuh kaungkulan,
ing sujanma pangrasane dhewekipun,
nora nana kang memadha,
angrasa luhur pribadi.
 Segala tingkah laku, dalam berbicara maupun duduk, tabiatnya tidak mau dikalahkan oleh orang lain, tidak mau ada yang menyamai, ia merasa dirinya paling tinggi.
13.   Aja nedya katempelan,
ing wewatek kang tan panates ing budhi,
watek rusuh nora urus,
tunggal lawan manungsa,
dipun sami karya labuhan kang patut,
darapon dadi tuladha,
tinuta ing wuri.
 Jangan sampai kau dihinggapi tabiat yang tidak pantas karena perilaku jahat seperti itu tidak patut disandang manusia. Seyogyanya berbuatlah kebajikan sehingga menjadi suri teladan dan panutan di kemudian hari.
14.   Aja lunyu lemer genjah,
angrong pasanakan nyumur gumuling,
ambubut arit puniku,
watek datan raharja,
pan wong lunyu nora pantes dipunenut,
monyar-manyir tan anteban,
dela lemeran puniku.
Janganlah bersikap lunyu lemer genjah, angrong pasanakan nyumur gumuling, dan ambubut arit karena sifat itu tidak akan menyelamatkanmu, tidak patut kau anut. Watak lunyu itu artinya kata-katanya tidak bisa dipegang, sedangkan sifat lemer
15.   Para penginan tegesnya,
genjah iku cak-cekan barang kardi,
 angrong pasanak liripun,
remen ulah miruda,
mring rabine sadulur miwah ing batur,
mring sanak myang prasanakan,
sok senenga den ramuhi.
Adalah mudah tergiur sesuatu. Genjah artinya senang berkata jorok, angrong pasanakan artinya senang berselingkuh dengan istri orang, dan jika sudah mencintai istri sahabat atau kerabat harus terlaksana.
16.   Nyumur guling linira,
ambeladhah nora duwe wewadi,
nora kene rubung-rubung,
wewadine den umbar,
mbuntut arit punika pracekanipun,
ambener ing pangarepan,
nanging nggarethel ing wuri.
Nyumur gumuling artinya tidak dapat menyimpan rahasia, jika mendengar kabar (meskipun sebagian) langsung disebarluaskan. Mbuntut arit artinya di awal terdengar baik tapi menggerutu di belakang.
17.   Sabarang kang dipun ucap,
nora wurung amrih oleh pribadi,
iku labuhan patut,
aja na nedya nulad,
ing wateking nenem prakara punika,
sayogyane ngupayaa,
lir mas tumimbul ing warih.
Semua yang diucapkannya hanya untuk keuntungan diri sendiri. Hal itu bukan kebajikan yang baik, dan jangan ada yang meniru keenam sifat di atas. Seyogyanya berlakulan seperti emas yang tersembul di permukaan. (mas tumimbul merupakan isyarat pola tembang berikutnya yaitu maskumambang).
                Dari uraian isi tembang di atas  disimpulkan bahwa piwulang tatakrama dalam tembang tersebut cocok  sekali untuk siswa yang sedang belajar di sekolah. Piwulang tersebut juga masih cocok jika ditiru dan dilaksanakan para siswa jaman sekarang. Tidak hanya untuk para siswa, para pemuda dan masyarakat umumpun masih bisa menggunakan piwulang tersebut. Piwulang dalam tembang tersebut sangat adi luhung karena nilai filsafat yang dimilikinya tinggi sekali. Kalau piwulang tersebut dilaksanakan maka para siswa pasti tertata dalam tingkah laku, unggah-ungguh, lan perilakunya dalam kehidupan bermasyarat.
                Selain tatakrama, didalam tembang tersebut juga berisi piwulang tentang perbuatan yang baik dan tidak. Perbuatan yang baik harus dilaksanakan dan perbuatan yang buruk harus ditinggalkan. Kalau piwulang ini dilaksanakan maka para siswa dikatakan memiliki nilai karakter yang bagus. Sebaliknya jika tidak maka para siswa akan rusak mentalnya alias miskin nilai karakter. Dan tidak memiliki watak berbudi bawa laksana. Kalau demikian rugi hidupnya dan berarti hidupnya tidak bermanfaat bagi sesama.

Daftar Pustaka 
Serat Wulangreh mangkunegara IV
Suratno, Pardi.2006. Sang Pemimpin (Wulangreh). Yogyakarta: Adiwacana.