sugeng rawuh


widget

Selasa, 23 Agustus 2016

MEMAKNAI HARI KEMERDEKAAN DENGAN MEMERDEKAKAN GURU

MEMAKNAI HARI KEMERDEKAAN 
DENGAN MEMERDEKAKAN GURU
Oleh :
Isnen Widiyanti, S.Pd
Guu MTs N Model Babakan

Merdekaaaa...!!!! Pekik semua orang dari segala penjuru Indonesia, dari Sabang hingga Merauke membahana di langit bumi Indonesia. Gegap-gempita perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-71 bergema di seantero penjuru negeri. Kemeriahan menyambut dan merayakan HUT RI tidak sekadar milik penguasa, tapi juga rakyat jelata. Tidak hanya di Istana Negara, tapi juga di desa-desa. Tidak terkecuali di sekolah, guru, staf, dan siswa berbaur mengikuti beragam lomba, sekaligus menghias sekolah dengan dominasi bendera merah putih.
Namun, Kemerdekaan yang diraih oleh bangsa ini sejak 71 tahun silam ternyata belum sepenuhnya dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Berbagai persoalan yang dialami oleh para guru saat ini membuktikan bahwa mereka belum mampu membebaskan diri dari belenggu yang selama ini memasung kreativitasnya. Tak heran jika output yang dihasilkan pun masih jauh dari harapan.
Banyak orang yang menganggap bahwa menjadi seorang guru itu mudah. Persepsi itu sungguh tidak benar adanya, karena seseorang guru mempunyai tanggung jawab yang besar dalam mendidik dan mengajar. Tanggung jawab itulah yang menjadi professionalitas seorang guru di mata masyarakat. Seorang guru tidak sebatas mengajar di kelas tetapi juga harus menjadi teladan bagi muridnya. Keteladanan tersebut akan menjadi tolak ukur keberhasilan seorang guru.
Dalam mentrasfer ilmu, seorang guru haruslah memperhatikan murid-murid secara bijak dan cermat, karena antara murid yang satu dan lainnya berbeda karakter. Ada murid yang cepat dalam menangkap pelajaran, ada juga murid yang lamban dalam memahami pelajaran. Selain itu guru juga harus menjunjung tinggi etika dan norma dalam mendidik.
Yang masih terasa membelenggu kalangan pendidikan antara lain gelar pahlawan tanpa tanda jasa bagi para guru di Indonesia. Gelar ini bukan sesuatu yang tidak baik, tetapi kalau penafsirannya tidak tepat akan menghasilkan implilkasi yang justru menyudutkan para guru. Apa artinya gelar sebagus itu jika tidak memberikan jaminan hidup yang layak?
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta perubahan sosio-kultural yang terkadang sulit diprediksi, profesi pendidik seakan-akan dihadapkan pada dilema yang kompleks. Di satu pihak, masyarakat pengguna jasa kependidikan menuntut akan kualitas layanan jasa kependidikan secara lebih baik, tetapi di pihak lain para penyandang profesi kependidikan dihadapkan pada berbagai keterbatasan. Bahkan secara individual mereka dihadapkan pula pada suatu realitas bahwa kesejahteraannya perlu mendapat perhatian khusus. Imbalan jasa kependidikan yang kurang sesuai menurut ukuran kebutuhan hidup realistis masih menjadi topik diskusi keseharian masyarakat. Padahal masyarakat yakin betul bahwa kelangsungan hidup bangsa ini akan sangat ditentukan oleh keberhasilan proses sistem pendidikan.
Makna kemerdekaan bagi guru adalah ketika ia memiliki kebebasan dalam mendesain pembelajaran sesuai kondisi sekolah dan siswa agar tujuan pendidikan tercapai. Kemerdekaan bagi guru adalah ketika dia diberikan peluang untuk meningkatkan kompetensinya tanpa hambatan, baik melalui seminar, pelatihan, maupun melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Kenyataannya, guru belum merdeka dalam pengertian di atas.
Melihat seorang guru seperti melihat sebuah masa depan cerah yang telah dijanjikan untuk dunia ini. Ingatkah kita ketika Jepang pernah terpuruk dengan hancurnya kota Nagasaki dan Hiroshima
oleh bom Amerika. Jepang saat itu lumpuh total, korban meninggal mencapai jutaan, belum lagi efek radiasi bom tersebut yang dalam perkiraan membutuhkan 50 tahun untuk menghilangkan itu semua. Maka Jepang terpaksa menyerah kepada sekutu, dan setelah itu Kaisar Hirohito mengumpulkan semua jendral masih hidup yang tersisa menanyakan kepada mereka “Berapa jumlah guru yang tersisa?“. Para jendral pun bingung mendengar pertanyaan Kaisar Hirohito dan menegaskan kepada Kaisar bahwa mereka masih bisa menyelamatkan dan melindungi Kaisar walau tanpa guru. Namun, Kaisar Hirohito kembali berkata, “Kita telah jatuh, karena kita tidak belajar. Kita kuat dalam senjata dan strategi perang. Tapi kita tidak tahu bagaimana mencetak bom yang sedahsyat itu. Kalau kita semua tidak bisa belajar bagaimana kita akan mengejar mereka? Maka kumpulkan sejumlah guru yang masih tersisa di seluruh pelosok kerajaan ini, karena sekarang kepada mereka kita akan bertumpu, bukan kepada kekuatan pasukan.”
Betapa bernilainya seorang guru di mata Kaisar saat itu sama seperti betapa bernilainya guru saat ini. Jepang menjadi negara maju seperti saat ini tak lepas dari pengaruh dan campur tangan guru. Tanpa guru, mungkin Jepang saat ini akan tetap terpuruk dan takkan menjadi salah satu negara yang ditakuti oleh negara lain. Bahkan saat ini, Jepang telah menjadi ancaman serius untuk negara yang pernah menjadikkannya terpuruk, yakni Amerika. Kemajuan Jepang tersebut hanyalah sebuah ilustrasi dan pengibaratan yang sangat sederhana tentang pentingnya sosok guru.
Mengingat pentingnya arti sebuah kemerdekaan bagi guru dalam mendidik tunas-tunas bangsa, sudah saatnya semua pihak bergerak untuk memberikan kontribusinya. Pemerintah pusat sebagai pemegang kebijakan tertinggi diharapkan mampu memenuhi berbagai kebutuhan yang dimiliki oleh guru. Besarnya anggaran yang dikeluarkan hendaknya dipandang sebagai sebuah investasi dan bukan beban. Alhamdulillah, kini kesejahteraan guru sudah mulai diperhatikan oleh pemerintah, seperti adanya tunjangan sertifikasi guru bahkan untuk daerah tertentu, seperti di DKI Jakarta kesejahteraan guru sudah di anggap cukup dengan adanya tunjangan kesejahteraan dari PEMDA DKI JAKARTA.
Sejalan dengan peningkatan kesejahteraan guru di Indonesia, kualifikasi, kompetensi, dan dedikasi para guru sudah saatnya ditingkatkan. Para guru harus mampu  mengubah mind set dan bertindak dalam menjalankan tugas sebagai pengajar dan pendidik. Kedepan guru tidak terjebak pada rutinitas tugas belaka, tetapi secara terus menerus guru harus mampu meningkatkan kualitas mengajar dan mendidiknya sehingga upaya peningkatan mutu pendidikan dapat tercapai. Tanpa perubahan mind set dari para guru sepertinya sulit dan hampir tidak mungkin mutu pendidikan di Indonesia dapat meningkat. Hal ini di sebabkan guru berada di garda terdepan dalam peningkatan mutu pendidikan.
Oleh karena itu, dibutuhkan kesejahteraan pribadi dan profesional guru yang meliputi : imbal jasa yang wajar dan proporsional, rasa aman dalam melaksanakan tugasnya, kondisi kerja yang kondusif bagi pelaksanaan tugas dan suasana kehidupannya, hubungan antar pribadi yang baik dan kondusif, kepastian jenjang karier dalam menuju masa depan yang lebih baik.
Adapun pemerintah daerah hendaknya benar-benar menyadari bahwa tugas utama seorang guru adalah mendidik anak. Mendorong mereka ke dalam pusaran politik hanya akan membuat harkat dan martabat guru jatuh di hadapan masyarakat. Oleh karenanya mendukung guru agar bersikap netral merupakan keputusan yang bijak. Selain kedua hal diatas, yang tak kalah penting adalah memberikan kepercayaan kepada guru untuk mendidik tunas-tunas bangsa sesuai dengan potensinya. Guru tentunya lebih mengetahui kurikulum mana yang sesuai digunakan di sekolahnya. Melalui berbagai upaya diatas, kita berharap setiap guru dapat memperoleh kemerdekaan sebagaimana yang dirasakan oleh sebagian besar masyarakat. Dengan begitu mereka pun dapat mencurahkan segenap potensi serta kreativitasnya dalam mendidik tunas-tunas bangsa sesuai dengan yang diharapkan.


MEMAKNAI HARI KEMERDEKAAN DENGAN MEMERDEKAKAN GURU

MEMAKNAI HARI KEMERDEKAAN DENGAN 
MEMERDEKAKAN GURU
Oleh :
Isnen Widiyanti, S.Pd
Guu MTs N Model Babakan

Merdekaaaa...!!!! Pekik semua orang dari segala penjuru Indonesia, dari Sabang hingga Merauke membahana di langit bumi Indonesia. Gegap-gempita perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-71 bergema di seantero penjuru negeri. Kemeriahan menyambut dan merayakan HUT RI tidak sekadar milik penguasa, tapi juga rakyat jelata. Tidak hanya di Istana Negara, tapi juga di desa-desa. Tidak terkecuali di sekolah, guru, staf, dan siswa berbaur mengikuti beragam lomba, sekaligus menghias sekolah dengan dominasi bendera merah putih.
Namun, Kemerdekaan yang diraih oleh bangsa ini sejak 71 tahun silam ternyata belum sepenuhnya dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Berbagai persoalan yang dialami oleh para guru saat ini membuktikan bahwa mereka belum mampu membebaskan diri dari belenggu yang selama ini memasung kreativitasnya. Tak heran jika output yang dihasilkan pun masih jauh dari harapan.
Banyak orang yang menganggap bahwa menjadi seorang guru itu mudah. Persepsi itu sungguh tidak benar adanya, karena seseorang guru mempunyai tanggung jawab yang besar dalam mendidik dan mengajar. Tanggung jawab itulah yang menjadi professionalitas seorang guru di mata masyarakat. Seorang guru tidak sebatas mengajar di kelas tetapi juga harus menjadi teladan bagi muridnya. Keteladanan tersebut akan menjadi tolak ukur keberhasilan seorang guru.
Dalam mentrasfer ilmu, seorang guru haruslah memperhatikan murid-murid secara bijak dan cermat, karena antara murid yang satu dan lainnya berbeda karakter. Ada murid yang cepat dalam menangkap pelajaran, ada juga murid yang lamban dalam memahami pelajaran. Selain itu guru juga harus menjunjung tinggi etika dan norma dalam mendidik.
Yang masih terasa membelenggu kalangan pendidikan antara lain gelar pahlawan tanpa tanda jasa bagi para guru di Indonesia. Gelar ini bukan sesuatu yang tidak baik, tetapi kalau penafsirannya tidak tepat akan menghasilkan implilkasi yang justru menyudutkan para guru. Apa artinya gelar sebagus itu jika tidak memberikan jaminan hidup yang layak?
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta perubahan sosio-kultural yang terkadang sulit diprediksi, profesi pendidik seakan-akan dihadapkan pada dilema yang kompleks. Di satu pihak, masyarakat pengguna jasa kependidikan menuntut akan kualitas layanan jasa kependidikan secara lebih baik, tetapi di pihak lain para penyandang profesi kependidikan dihadapkan pada berbagai keterbatasan. Bahkan secara individual mereka dihadapkan pula pada suatu realitas bahwa kesejahteraannya perlu mendapat perhatian khusus. Imbalan jasa kependidikan yang kurang sesuai menurut ukuran kebutuhan hidup realistis masih menjadi topik diskusi keseharian masyarakat. Padahal masyarakat yakin betul bahwa kelangsungan hidup bangsa ini akan sangat ditentukan oleh keberhasilan proses sistem pendidikan.
Makna kemerdekaan bagi guru adalah ketika ia memiliki kebebasan dalam mendesain pembelajaran sesuai kondisi sekolah dan siswa agar tujuan pendidikan tercapai. Kemerdekaan bagi guru adalah ketika dia diberikan peluang untuk meningkatkan kompetensinya tanpa hambatan, baik melalui seminar, pelatihan, maupun melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Kenyataannya, guru belum merdeka dalam pengertian di atas.
Melihat seorang guru seperti melihat sebuah masa depan cerah yang telah dijanjikan untuk dunia ini. Ingatkah kita ketika Jepang pernah terpuruk dengan hancurnya kota Nagasaki dan Hiroshima
oleh bom Amerika. Jepang saat itu lumpuh total, korban meninggal mencapai jutaan, belum lagi efek radiasi bom tersebut yang dalam perkiraan membutuhkan 50 tahun untuk menghilangkan itu semua. Maka Jepang terpaksa menyerah kepada sekutu, dan setelah itu Kaisar Hirohito mengumpulkan semua jendral masih hidup yang tersisa menanyakan kepada mereka “Berapa jumlah guru yang tersisa?“. Para jendral pun bingung mendengar pertanyaan Kaisar Hirohito dan menegaskan kepada Kaisar bahwa mereka masih bisa menyelamatkan dan melindungi Kaisar walau tanpa guru. Namun, Kaisar Hirohito kembali berkata, “Kita telah jatuh, karena kita tidak belajar. Kita kuat dalam senjata dan strategi perang. Tapi kita tidak tahu bagaimana mencetak bom yang sedahsyat itu. Kalau kita semua tidak bisa belajar bagaimana kita akan mengejar mereka? Maka kumpulkan sejumlah guru yang masih tersisa di seluruh pelosok kerajaan ini, karena sekarang kepada mereka kita akan bertumpu, bukan kepada kekuatan pasukan.”
Betapa bernilainya seorang guru di mata Kaisar saat itu sama seperti betapa bernilainya guru saat ini. Jepang menjadi negara maju seperti saat ini tak lepas dari pengaruh dan campur tangan guru. Tanpa guru, mungkin Jepang saat ini akan tetap terpuruk dan takkan menjadi salah satu negara yang ditakuti oleh negara lain. Bahkan saat ini, Jepang telah menjadi ancaman serius untuk negara yang pernah menjadikkannya terpuruk, yakni Amerika. Kemajuan Jepang tersebut hanyalah sebuah ilustrasi dan pengibaratan yang sangat sederhana tentang pentingnya sosok guru.
Mengingat pentingnya arti sebuah kemerdekaan bagi guru dalam mendidik tunas-tunas bangsa, sudah saatnya semua pihak bergerak untuk memberikan kontribusinya. Pemerintah pusat sebagai pemegang kebijakan tertinggi diharapkan mampu memenuhi berbagai kebutuhan yang dimiliki oleh guru. Besarnya anggaran yang dikeluarkan hendaknya dipandang sebagai sebuah investasi dan bukan beban. Alhamdulillah, kini kesejahteraan guru sudah mulai diperhatikan oleh pemerintah, seperti adanya tunjangan sertifikasi guru bahkan untuk daerah tertentu, seperti di DKI Jakarta kesejahteraan guru sudah di anggap cukup dengan adanya tunjangan kesejahteraan dari PEMDA DKI JAKARTA.
Sejalan dengan peningkatan kesejahteraan guru di Indonesia, kualifikasi, kompetensi, dan dedikasi para guru sudah saatnya ditingkatkan. Para guru harus mampu  mengubah mind set dan bertindak dalam menjalankan tugas sebagai pengajar dan pendidik. Kedepan guru tidak terjebak pada rutinitas tugas belaka, tetapi secara terus menerus guru harus mampu meningkatkan kualitas mengajar dan mendidiknya sehingga upaya peningkatan mutu pendidikan dapat tercapai. Tanpa perubahan mind set dari para guru sepertinya sulit dan hampir tidak mungkin mutu pendidikan di Indonesia dapat meningkat. Hal ini di sebabkan guru berada di garda terdepan dalam peningkatan mutu pendidikan.
Oleh karena itu, dibutuhkan kesejahteraan pribadi dan profesional guru yang meliputi : imbal jasa yang wajar dan proporsional, rasa aman dalam melaksanakan tugasnya, kondisi kerja yang kondusif bagi pelaksanaan tugas dan suasana kehidupannya, hubungan antar pribadi yang baik dan kondusif, kepastian jenjang karier dalam menuju masa depan yang lebih baik.
Adapun pemerintah daerah hendaknya benar-benar menyadari bahwa tugas utama seorang guru adalah mendidik anak. Mendorong mereka ke dalam pusaran politik hanya akan membuat harkat dan martabat guru jatuh di hadapan masyarakat. Oleh karenanya mendukung guru agar bersikap netral merupakan keputusan yang bijak. Selain kedua hal diatas, yang tak kalah penting adalah memberikan kepercayaan kepada guru untuk mendidik tunas-tunas bangsa sesuai dengan potensinya. Guru tentunya lebih mengetahui kurikulum mana yang sesuai digunakan di sekolahnya. Melalui berbagai upaya diatas, kita berharap setiap guru dapat memperoleh kemerdekaan sebagaimana yang dirasakan oleh sebagian besar masyarakat. Dengan begitu mereka pun dapat mencurahkan segenap potensi serta kreativitasnya dalam mendidik tunas-tunas bangsa sesuai dengan yang diharapkan.


Jumat, 06 Mei 2016

MENCERDASKAN ORANG TUA DALAM MEMILIH SEKOLAH

MENCERDASKAN ORANG TUA DALAM MEMILIH SEKOLAH
Oleh :
Isnen Widiyanti, S.Pd
Guru MTs N Model Babakan
(Telah dimuat di harian Radar Tegal tanggal 2 Mei 2016)

Sebagai orangtua, Anda tentu saja ingin memberikan yang terbaik buat buah hati. Salah satunya dalam bidang pendidikan. Sejatinya, pendidikan sangat penting bagi anak-anak. Pasalnya, pendidikan terbaik sangat berpengaruh pada kesuksesan buah hati. Alasan inilah yang membuat orang tua harus cerdas memilih sekolah yang tepat untuk buah hati. Oleh karena itu lewat pilihan sekolah yang tepatlah semua itu bisa didapatkan.
Sekarang ini sudah banyak pilihan untuk memasukkan anak-anak ke sekolah. Apalagi menjelang awal tahun ajaran, sekolah-sekolah tersebut saling berlomba untuk mempublikasikan keunggulan sekolah masing-masing. Kita sebagai orang tua setidaknya mengetahui bahwa setiap sekolah mempunyai kelebihan dan kekurangan. Setiap sekolah baik itu sekolah negeri maupun sekolah swasta pasti mempunyai tujuan memberikan yang terbaik buat siswanya.
Tidak sedikit orang tua yang bertindak sebagai perencana tunggal masa depan anak-anaknya. Ironisnya, mereka terlalu memaksakan kemauan dengan menentukan sekolah yang akan dimasuki sang anak. Orang tua menginginkan anaknya kelak menjadi dokter, padahal anak memiliki bakat seni, ingin anaknya menjadi pengacara, anak lebih menyenangi dunia komputer atau ingin anaknya menjadi artis dan selebritis, anak malah lebih menyenangi mengkaji ilmu-ilmu agama.
Intervensi orang tua dalam perencanaan masa depan anak khususnya memilih sekolah memang sangat diperlukan, namun yang tak kalah penting dan mendasar adalah orang tua perlu mengetahui dan mengarahkan minat dan bakat anak secara dialogis. Orang tua pasti lebih tahu minatnya itu mau ke mana–sesuai tidak dengan bakat yang dimilikinya. Apalagi saat ini anak dituntut harus lebih cerdas menghadapi dinamika lingkungannya dimana kecerdasan tidak hanya dilihat dari sisi kognitif dan apektif, tetapi juga psikomotoriknya.
Menilik apa saja yang perlu orang tua perhatikan sebelum memilih sekolah anak, berikut kiatnya :
1.         Informasi
Jangan bosan mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya mengenai berbagai sekolah, baik melalui internet, media, anggota keluarga lainnya, ataupun lingkungan sekitar Anda.
2.         Observasi
Setelah menentukan sekolah, jangan segan-segan menanyakan langsung ke pengelola sekolah mengenai profil sekolah, kurikulum, jumlah murid per kelas, latar belakang pendidikan guru, prestasi sekolah, sistem pembayaran sekolah, fasilitas pendidikan, status sekolah, serta pemilik atau yayasan yang menaungi sekolah tersebut.
3.         Izin sekolah
Cenderungnya hal yang satu ini jarang ditanyakan oleh orangtua, yakni mengenai izin sekolah. Padahal, tidak jarang sekolah tutup diakibatkan izin gedung dan operasionalnya yang bermasalah. Untuk hal yang satu ini, jika Anda ingin penjelasan yang rinci, Anda bisa tanyakan ke pemerintah daerah setempat.
4.         Kondisi fisik sekolah
Lihat juga kondisi bangunan sekolah tersebut, apakah masih layak atau tidak sebagai tempat belajar. Selain itu, lihat juga suasana kelas, kantin, fasilitas olah raga, kamar kecil hingga tempat ibadah apakah cukup nyaman untuk buah hati Anda.
5.         Guru
Pilihlah sekolah yang memiliki guru-guru yang bermoral baik dan memiliki latar belakang pendidikan yang layak untuk diperhitungkan, sehingga buah hati pun akan berkembang menjadi anak yang baik dan cerdas.
6.         Suasana
Jangan lupa untuk memperhatikan suasana kelas ketika proses belajar mengajar sedang berlangsung. Perhatikan bagaimana interaksi murid dan guru di kelas tersebut. Ini merupakan hak Anda sebagai orangtua untuk melihat dan memantau.
Apabila peran orang tua mulai diambil dalam memilih sebuah sekolah yang berkualitas, maka ada beberapa faktor yang perlu orang tua perhatikan sebelum memilih sekolah anak, diantaranya :
1.         Visi dan misi sekolah harus jelas
Kebanyakan sekolah kita belum mampu mengartikulasikan visi dan misinya. Visi adalah pernyataan singkat, mudah diingat, pemberi semangat, dan obor penerang jalan untuk maju melejit. Misi adalah pernyataan tentang apa yang harus dikerjakan oleh lembaga pendidikan khususnya dalam usahanya mewujudkan Visi.
2.         Komitmen sekolah tinggi untuk menjadi unggul
Indikatornya adalah staf administrasi, guru, dan kepala sekolah memiliki tekad yang kuat untuk menjadikan sekolahnya sebagai sekolah unggul dalam segala aspek.
3.         Kepemimpinan yang mumpuni
Tidak dipungkiri baik dan buruknya suatu sekolah 80 % ditentukan oleh kepala sekolahnya. Kepala sekolah adalah “sentral” sekolah. Kepala sekolah adalah "pemimpin dari pemimpin" bukan "pemimpin dari pengikut”.
4.         Kesempatan untuk belajar dan pengaturan waktu yang jelas
Semua guru mengetahui apa yang mesti diajarkan. Alokasi waktu yang memadai dan penjadwalan yang tepat sangat berpengaruh bagi kualitas pengajaran.
5.         Lingkungan yang aman dan teratur
Sekolah unggul memiliki suasana tertib, bertujuan, serius, dan terbebas dari ancaman fisik atau psikis, tidak opresif tetapi kondusif untuk belajar dan mengajar.
6.         Hubungan yang baik antara rumah dan sekolah
Para orang tua memahami misi dan visi sekolah. Mereka diberi kesempatan untuk berperan dalam program demi tercapainya visi dan misi tersebut.
7.         Monitoring kemajuan siswa secara berkala
Kemajuan siswa dimonitor terus-menerus dan hasil monitoring itu dipergunakan untuk memperbaiki perilaku dan performansi siswa serta kurikulum secara keseluruhan.
Dari beberapa faktor tersebut, kita sebagai orang tua dapat mengambil kesimpulan bahwa setiap sekolah baik itu swasta ataupun negeri memiliki keunggulan dan kekurangan. Kualitas memang harus kita perhatikan. Satu hal yang harus kita yakini bahwa sekolah hanyalah salah satu sarana pendidikan penunjang keberhasilan anak dalam menggapai masa depannya. Tetapi keberhasilan yang lebih penting yaitu pendidikan moral dan keilmuan yang didapatkan anak ketika dia berada didalam rumah bersama dengan orang tuanya. Anak yang berhasil mendapatkan pendidikan nilai moral dan keilmuan terbaik dari orangtua, dimanapun dia bersekolah baik di swasta ataupun negeri keberhasilan dan kesuksesan akan selalu diraih dengan gemilang. Jadilah Orang Tua Smart, Wahai Para Orang Tua Indonesia !

Selamat memilih !

KONSEP WANITA JAWA DALAM SERAT WULANG ESTRI BENTUK MANIFESTASI PERAN KARTINI

KONSEP WANITA JAWA DALAM SERAT WULANG ESTRI 
BENTUK MANIFESTASI  PERAN KARTINI
Oleh :
ISNEN WIDIYANTI, S.Pd
Guru Bahasa Jawa MTs N Model Babakan
(Artikel ini pernah dimuat di Harian Radar Tegal tanggal 21 April 2016)

Hidup itu akan indah dan berbahagia  apabila  dalam kegelapan kita melihat cahaya terang”.( R.A. Kartini)

S
epotong kalimat yang diucapkan R.A Kartini semasa hidupnya ini mampu memberikan arti dan spirit tersendiri dalam perjuangan meraih persamaan dan kesetaraan gender atau disebut juga emansipasi. Raden Ajeng Kartini sendiri adalah pahlawan yang mengambil tempat tersendiri di hati kita dengan segala cita-cita, tekad, dan perbuatannya.  Ide-ide besarnya telah mampu menggerakkan dan mengilhami perjuangan kaum wanita dari kebodohan yang tidak disadari pada masa lalu. Perjuangan memang belum berakhir, di era globalisasi ini masih banyak dirasakan penindasan dan perlakuan tidak adil terhadap wanita.
Masyarakat Jawa adalah golongan masyarakat yang sampai sekarang masih memiliki kontrol sosial kuat, yakni ditandai dengan adanya irama kehidupan masyarakat yang teratur, nyaman, menghindari gejolak sosial, karena masing-masing berusaha saling menjaga irama kehidupan tadi. Banyak istilah sebutan wanita dalam masyarakat Jawa diantaranya :
Wadon, kata wadon berasal dari bahasa Kawi yakni “wadu”, yang secara harfiah bermakna kawula atau abdi. Istilah ini sering di artikan bahwa wanita ditakdirkan menjadi “abdi” (pelayan) sang guru laki (suami).
Wanita, kata ini wanita tersusun dari dua kata bahasa jawa yakni “wani” (berani) dan “tata” (teratur). Dalam pengertian ini wanita memiliki dua pengertian, yaitu wani ditata (berani / mau diatur) dan wani nata (berani / mau mengatur). Dalam istilah wani ditata mengandung makna bahwa wanita harus tetap tunduk dan mau untuk diatur suami, sedangkan istilah wani nata seorang wanita harus berani mengatur rumah tangga, mendidik anak, serta yang terpenting adalah memenuhi kebutuhan biologis sang suami.
Estri, kata estri lahir dari bahasa Kawi yakni “estren”, yang berarti penjurung (pendorong). Dari kata “estren” lalu terbentuklah kata hangestreni yang berarti mendorong. Dari sini dapat kita ketahui bahwa seorang estri harus mampu memberi dorongan (motivasi) kepada sang suami, lebih-lebih jika sang suami dalam keadaan semangatnya melemah.
Putri, yang berarti anak wanita. Dalam tradisional Jawa, kata ini sering dikatakan sebagai singkatan Putus Tri Perkawis (gugurnya tiga perkara), yakni seorang wanita dalam kedudukan putri dituntut untuk menjalankan kewajibannya, baik sebagai wadon, wanita, maupun estri.
Membicarakan peranan wanita merupakan topik yang tidak akan pernah habis. Dari berbagai perspektif dan sudut pandang, permasalahan wanita saat ini masih menjadi pembicaraan yang up to date. Masalah kewanitaan menjadi tema yang tak habis-habisnya disoroti oleh aktivis wanita dan kalangan feminis. Dari soal kepemimpinan, “diskriminasi” peran, partisipasi yang “rendah” karena posisinya yang dianggap “subordinat”, hingga poligami. Semuanya bermuara pada sebuah gugatan bahwa wanita harus mempunyai hak yang sama alias sejajar dengan pria. Seolah-olah terjadi pembedaan (yang membabi buta) antara pria dan wanita.
Adalah sebuah kenyataan, wanita berbeda dengan pria dalam banyak hal. Dari perbedaan kondisi fisik, sisi emosional yang menonjol, sifat-sifat bawaan, dan sebagainya. Secara fisiologis, misalnya, wanita mengalami haid hingga berkonsekuensi berbeda pada hukum-hukum yang dibebankan atasnya. Sementara dari kejiwaan, pria umumnya lebih mengedepankan akalnya sehingga lebih bijak, sementara wanita cenderung mengedepankan emosinya. Namun dengan emosi yang menonjol itu, wanita patut menjadi ibu yang punya ikatan kuat dengan anak. Sebaliknya, dengan kelebihannya, laki-laki pantas menjadi pemimpin sekaligus menjadi tulang punggung dalam rumah tangganya.
Sebenarnya usaha-usaha untuk memperjuangkan kesamaan gender dan peran ganda wanita telah menunjukkan eksistensinya. Saat ini banyak kaum wanita yang berprestasi, banyak posisi strategis yang dipegang oleh wanita, seperti presiden, menteri, pengamat politik, Pegawai Negeri dan wiraswastawan sukses, serta sebagai pimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Peran ganda wanita yang ideal menutut tugas seorang ibu rumah tangga sekaligus sebagai wanita karir.
Menurut pandangan dan konsepsi piwulang Jawa dalam Wulang Estri karya Pakubuwono X, yang dimaksud dengan peranan wanita, antara lain wanita harus memiliki kekuatan, sehingga akan bermuara pada pembebanan wanita dalam dua dunia, yaitu wanita sebagai isteri dan wanita yang dapat bekerja. Terlepas dari hal tersebut maka yang dimaksud dengan wanita Jawa dalam konsep pendidikan yang disarikan dari piwulang Jawa dalam Wulang Estri, maka wanita Jawa yang diharapkan adalah:
Pertama, wanita harus cakap, artinya seorang istri harus mampu melaksanakan tugas dan mengetahui seluk beluk kerumahtanggaan, seperti pada ungkapan dalam naskah ini:
Nora gampang babo yang ngalaki, luwih saking abot, kudu weruh ing tata titine, miwah cara carane lan watake ugi, den awas, den emut.
(Tidak mudah bersuami, sangat berat, harus tahu tata cara dan seluk-beluk serta sifat-sifat harus awas dan waspada).
Cakap disini dimaknai, seorang isteri harus dituntut memiliki kelebihan dalam mengatur rumah tangga, yang dikonsepsikan untuk bisa, menata rumah dengan segala tata cara yang telah ditentukan menurut adat istiadat. Secara psikologis, wanita atau isteri juga dituntut memiliki kewaspadaan tinggi. Di samping itu, dalam keluarga, isteri mempunyai peranan ganda yang cukup penting, karena hak dan kedudukan isteri harus seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan dan pergaulan hidup bersama di dalam masyarakat.
Kedua, wanita harus bersifat cermat, seorang isteri harus mampu memiliki perhitungan yang baik dalam mengatur segala kegiatan dalam rumah tangga, sebagaimana yang tertuang dalam ungkapan berikut:
Tan kena tinambak warni, uger-ugere wong krama, kudu eling paitane, eling kawiseseng priya, nora kena sembrana, kurang titi kurang emut, iku luput ngambra-ambra.
(Tidak hanya karena wajah, patokan orang berumah tangga, bermodalkan kesadaran, sadar dikuasai lelaki, maka tidak boleh seenaknya, kurang cermat, kurang sadar, akan menjadi semakin salah).
Kecermatan yang dimaksudkan dalam konsep piwulang ini menekankan bahwa seorang wanita harus cermat memperhitungkan ketelitian serta berpegang kepada ajaran moral.
Ketiga, wanita harus bersikap tanggap, seorang isteri harus mampu menyesuaikan diri dengan situasi dalam segala suasana apapun, terutama menjaga hubungan di dalam keluarga serta lingkungannya. Hal ini digambarkan dalam kitab Wulang Estri sebagai berikut:
Yen kakung mentas pepara, utawi kondaur tinangkil, netya wong wangen den awas, menawa animpen runtik, ing madya tan kelair, solahmu kang dhokoh luluh, aja acelandhakan, jenenge wong nora mikir, yang kebranang dadi aseman duduka.
Apabila seorang suami baru pulang dari bekerja, maka isteri harus melihat bagaimana kondisi suami, sehingga isteri harus bisa menyikapinya, dalam melihat situasi perlu dicermati oleh isteri.
Keempat, terampil. Yang dimaksud di dalam sikap ini ialah seorang isteri harus mampu bekerja dengan menciptakan usaha yang bersifat mengatur sistem hubungan kerumahtanggaan beserta kebutuhannya, seperti pada ungkapan berikut ini:
Marmane ginawan iku, iya dariji jalenthik, dipun kothak akithikan, yen ana karsaning kakung, karepe kathah thithikan den terampil barang kardi.
(Maksudnya keterampilan yang dimiliki harus dari tangan sendiri atau dengan jari jemari adalah hasil karya yang dipersiapkan untuk suami dan keluarga).
Kelima, cekatan. Wanita harus bisa memfokuskan diri kepada ketrampilan bekerja yang cekatan, walaupun masih dalam batas-batas norma, yang berlaku sopan santun seperti ungkapan yang berikut ini:
Lamun angladosi kakung, den kebatna ning den risih, aja kebat garobyakan dredegan saya cinincing, apaan iku kebat nistha, pan rada ngoso ing batin.
(Jika melayani suami sebaiknya dengan tata cara yang halus, jangan terlalu cepat dan menimbulkan suara, cepat yang baik adalah dengan rasa tetapi bukan dengan perasaan yang disertai amarah).
Dari penjelasan tersebut dapat disarikan bahwa, Unsur-unsur pendidikan yang terdapat dalam naskah Wulang Estri merupakan nilai-nilai watak dan sikap orang Jawa yang dapat dijadikan acuan dan tolok ukur, bagaimana wanita yang baik dalam pengajaran. Wanita Indonesia khususnya wanita Jawa sebaiknya berusaha untuk mempertahankan kepribadian sesuai dengan norma-norma yang mengikat yang diatur dalam sistem budaya. Dalam melaksanakan tugas sebagai wanita karir atau wanita yang bekerja di luar rumah, peran sebagai seorang ibu sebaiknya masih dilaksanakan.
Dalam rangka memperingati Hari Kartini yang tahun ini  jatuh pada tanggal 21 April 2016, wanita Indonesia khususnya wanita Jawa harus mampu bangkit dan mengoptimalkan partisipasi di berbagai bidang kehidupan. Dengan catatan, jangan sampai kita pada umumnya dan para wanita Jawa khususnya salah memahami makna emansipasi wanita.
Mari kita lanjutkan perjuangan beliau. Tapi jangan sampai kebablasan dengan melupakan harkat dan martabat sebagai wanita. Perlu diperhatikan oleh seluruh wanita Indonesia, dalam menyikapi  spirit perjuangan pahlawan Raden Ajeng (RA) Kartini jangan hanya diperingati sebagai formalitas semata, tapi, mari hayati dan implementasikan dalam kehidupan sehari-hari.