I. Abstrak
Artikel merupakan sebuah karangan
faktual (non fiksi), tentang suatu masalah secara lengkap yang
panjangnya tidak ditentukan, untuk dimuat di surat kabar, majalah,
bulletin dan sebagainya dengan tujuan untuk menyampaikan gagasan dan
fakta guna meyakinkan, mendidik, menawarkan pemecahan suatu masalah,
atau menghibur. Artikel termasuk termasuk tulisan kategori views
(pandangan), yaitu tulisan yang berisi pandangan, ide, opini, penilaian
penulisannya tentang suatu masalah atau peristiwa. Sedang karya ilmiah
adalah berbagai macam tulisan yang dilakukan oleh seseorang atau
kelompok dengan menggunakan tata cara ilmiah yakni sistem penulisan yang
didasarkan pada sistem, masalah, tujuan, teori dan data untuk
memberikan alternatif pemecahan masalah tertentu.
II. Pendahuluan
Menulis
artikel dan karya ilmiah, kini bukan lagi sekedar hobi tetapi sudah
menjadi kebutuhan bagi kaum intelektual, terutama mereka yang menduduki
jabatan fungsional, seperti guru, dosen, peneliti, dan sebagainya. Bagi
mereka, menulis artikel di media massa, dan karya ilmiah pada jurnal
penelitian, merupakan syarat mutlak untuk mendapatkan angka kredit untuk
menaikan jenjang jabatan fungsionalnya. Bagi mahasiswa, menulis karya
ilmiah merupakan kewajiban, sebelum mereka menyelesaikan masa studinya
dan diwisuda menjadi seorang sarjana.
Namun demikian menulis artikel
atau karya ilmiah tidaklah semudah membuat karangan biasa. Ide-ide atau
gagasan-gagasan yang ada dalam benak kita, tidak bisa begitu saja kita
tuangkan menjadi suatu tulisan artikel atau karya ilmiah. Karena untuk
menjadi artikel atau karya ilmiah, apalagi yang dipublikasikan melalui
media cetak, ide atau gagasan itu, terlebih dulu harus disesuaikan
dengan visi dan misi media cetak yang akan memuatnya, atau harus
mematuhi kaidah-kaidah ilmiah dalam prosedur karya tulis ilmiah. Inilah
kendala yang selama ini dihadapi oleh para dosen, guru, peneliti dan
pejabat fungsional lainnya. Ditambah lagi belum banyak buku panduan atau
contoh tulisan yang dapat mereka jadikan rujukan.
Menulis artikel
pada media massa, dan karya ilmiah pada jurnal ilmiah bagi para guru,
dosen, peneliti, mahasiswa dan siapa saja yang berkecimpung di dunia
ilmu pengetahuan, memang sangat penting dan dibutuhkan. Ini karena,
dengan menulis artikel dan karya ilmiah, mereka akan terus berlatih
untuk memecahkan permasalahan-permasalahan yang timbul baik dalam kancah
keilmuan, maupun permasalahan sosial yang dihadapi pada kehidupan
sosial sehari-hari. Dengan upaya memecahkan permasalahan itulah, daya
pikir para guru, dosen, peneliti maupun mahasiswa terus terasah,
sementara pemikiran kritis mereka semakin tajam. Ini sangat diperlukan
bagi kalangan intelektual untuk terus mengembangkan ilmu pengetahuan.
Sebenarnya,
seiring dengan menjamurnya bisnis media cetak, kesempatan untuk menulis
artikel terbuka semakin lebar. Inilah lahan subur bagi guru, dosen,
peneliti, dan sebagainya, untuk berkarya memenuhi angka kredit bagi
jenjang jabatan fungsionalnya. Jika karya tulisnya dimuat, selain karya
tulisnya memperoleh angka kredit (credit point), juga mendapat honorium
dari surat kabar atau majalah yang memuatnya. Ini merupakan penghargaan
tambahan yang punya nilai tersendiri. Sayangnya tidak semua artikel bisa
menembus media massa. Karena selain gaya penulisan yang harus
komunikatif, artikelnya pun harus sesuai dengan misi, visi dan policy
media cetak tersebut.
Tulisan ini mencoba untuk memberi bekal,
terutama bagi para dosen, guru, peneliti dan mahasiswa untuk lebih
mengerti dan memahami tentang jenis-jenis artikel, kegunaannya, tata
cara penulisan dan yang lebih penting bagaimana memahami policy redaktur
media massa, sehingga tulisan artikelnya menjadi layak muat. Ini sangat
penting mengingat kebanyakan penulis artikel gagal dimuat hanya karena
tulisannya tidak sesuai dengan policy redaktur surat kabar atau majalah
yang ditujunya.
Demikian juga dengan penulisan karya ilmiah. Banyak
para guru, dosen, peneliti yang jenjang jabatan fungsionalnya menjadi
macet gara-gara tidak memenuhi KUM, misal jabatan fungsional dosen dari
tenaga pengajar ke asisten ahli, lektor, lektor kepala dan guru besar
dari unsur penulisan karya ilmiah, terutama dari hasil penelitian
memerlukan ketekunan dan kejelian tersendiri, serta panduan orang-orang
yang memang sudah sering melakukannya.
Bagi mahasiswa, terutama dalam
menyelesaikan tugasnya, baik tugas akhir mata kuliah maupun karya dalam
mengakhiri studinya seperti skripsi, tesis maupun disertasi. Baik dalam
etika penulisannya (aspek metodologi penelitian) maupun pemaparan
urgensi masalahnya (teori yang dijadikan acuan pembahasan).
III. Pembahasan
1. Artikel
Artikel
dalam bahasa Inggris ditulis “article”, sedang menurut kamus lengkap
Inggris-Indonesia karangan Prof. Drs. S. Wojowasito dan W.J.S.
Poerwodarminto, article berarti “karangan”. Sedangkan “artikel” dalam
bahasa Indonesia, menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia berarti karangan
di surat kabar, majalah dan sebagainya.
Dalam lingkup jurnalistik,
para pakar komunikasi menerjemahkan artikel, berdasarkan sudut pandang
masing-masing. Menurut R. Amak Syarifudin (Djuroto dan Bambang,
2003:3-4), artikel adalah suatu tulisan tentang berbagai alat, mulai
politik, sosial, ekonomi, budaya, teknologi, olah raga dan lain-lain.
Misalnya tulisan mengenai kehidupan kewanitaaan, pemuda, sejarah, film,
drama dan sebagainya. Tulisan semacam ini tidak terikat gaya bahasa
maupun format tulisan. Tetapi untuk mendapatkan audience-nya, penulis
artikel harus pandai mengungkapkan gaya tulisannya, agar tidak
membosankan. Penulisan artikel di media massa (surat kabar atau
majalah), tidak harus dilakukan oleh wartawannya sendiri, orang luar pun
bisa menyumbangkan artikelnya. Dalam prakteknya penulisan artikel pada
surat kabar atau majalah kebanyakan dari luar. Sedang menurut Tjuk
Swarsono bahwa artikel adalah karangan yang menampung gagasan dan opini
penulis, bisa berupa gagasan murni atau memungut dari sumber lain,
referensi, perpustakaan, pernyataan orang dan sebagainya. Artikel
mengharuskan penulis mencantumkan namanya secara lengkap (by name),
sebagai tanggung jawab atas kebenaran tulisannya. Juga Asep Syamsul M.
Romli menyebut artikel sebagai subuah karangan faktual (non fiksi),
tentang suatu masalah secara lengkap, yang panjangnya tidak ditentukan,
untuk dimuat disurat kabar, majalah, bulletin dan sebagainya, dengan
tujuan untuk menyampaikan gagasan dan fakta guna meyakinkan, mendidik,
menawarkan pemecahan suatu masalah, atau menghibur. Artikel termasuk
tulisan ketegori views (pandangan), yaitu tulisan yang berisi pandangan,
ide, opini, penilaian penulisnya tentang suatu masalah atau peristiwa.
Berdasarkan
beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa semua tulisan di
surat kabar atau majalah yang bukan berbentuk berita, bisa disebut
artikel. Yang membedakan salah satunya adalah pemuatan artikel tersebut.
Jika artikel itu dimuat pada halaman opini, disebut artikel umum. Bila
diletakkan di halaman seni dan hiburan dikatakan esai, dan jika dimuat
di kolom khusus redaksi, diberi nama tajuk rencana dan sebagainya.
Menulis
artikel berbeda dengan menulis berita. Kalau berita, apa yang
ditulisnya itu harus berdasarkan fakta atas kejadian atau peristiwa yang
terjadi. Boleh juga penulisan berita ditambah dengan interpretasi,
sepanjang itu diperuntukkan bagi penjelasan fakta. Tetapi menulis
berita, sama sekali tidak diperbolehkan memasukkan opini. Untuk mewadahi
penyampaian opini masyarakat pada surat kabar atau majalah, disediakan
kolom khusus yaitu halaman opini (opinion page).
Lantas apakah
penulisan artikel harus full opinion? Jawabnya tidak juga. Menulis
artikel boleh dimulai dengan pemaparan fakta sebagai data dari apa yang
akan ditulisnya. Dari data yang ada itulah penulis bisa memberikan
pendapat, pandangan, gagasan, atau bahkan interpretasi dari fakta yang
ada pada data tersebut. Agar tidak dibingungkan oleh istilah fakta,
interpretasi dan opini, berikut perbedaan ketiga istilah tersebut.
Fakta
adalah kenyataan yang ada sesuai dengan data yang sebenarnya. Fakta
bukan buah pikiran atau pernyataan. Namun demikian, buah pikiran atau
pernyataan bisa menjadi fakta asalkan dilatarbelakangi oleh peristiwa
yang sebenarnya. Ini disebut dengan fact in idea. Contoh Majelis Ulama
Indonesia menyatakan. Bahwa bumbu masak Ajinomoto adalah haram.
Pernyataan ini didasarkan pada penelitian mereka, yang menemukan bahan
baku pembuatan Ajinomoto terakumulasi lemak babi (kasus Ajinomoto 2000).
Penjelasan MUI tersebut meskipun merupakan pernyataan, bisa dianggap
sebagai fakta karena pernyataan itu dilandasi dari hasil suatu
penelitian.
Interpretasi adalah hasil pemikiran berupa penafsiran,
pengertian atau pemahaman. Boleh jadi penafsiran, pemikiran atau
pemahaman seseorang dengan orang lain akan berbeda. Contoh: Presiden
Abdurrahman Wahid, ternyata menyatakan bumbu masak Ajinomoto adalah
halal. Meurutnya, lemak babi yang digunakan pada proses pembuatan
Ajinomoto tidak menyentuh langsung bahan baku bumbu masak tersebut.
Lemak babi hanya berfungsi memisahkan sel-sel pada tetes tebu sebagai
bahan baku utama, sehingga tidak langsung menyentuh apalagi bercampur
dengan bahan baku Ajinomoto tersebut.
Opini adalah pendapat atau
pandangan seseorang atau kelompok terhadap masalah atau peristiwa yang
terjadi. Contoh pada kasus Ajinomoto tersebut, muncul berbagai pendapat
(opini) yang di antaranya menyatakan, bahwa Presiden Abdurarrahman Wahid
meng-halal-kan Ajinomoto tersebut karena khawatir kehilangan investasi
dari Jepang yang menanamkan modalnya pada perusahaan Ajinomoto tersebut.
Dan banyak lagi contoh opini lainnya.
Kesimpulannya, menulis berita
bida gabungan antara fakta dan interpretasi. Sedangkan ertikel bisa
terdiri dari ketiganya, yaitu fakta, interpretasi, dan opini. Penulisan
artikel berbeda dengan komentar. Jika komentar tulisannya terfokus untuk
menanggapi, atau mengomentari nuansa atau fenomena dari suatu
permasalahan yang terjadi. Sedangkan artikel, penulisannya tidak sekadar
mengomentari masalah, tetapi bisa juga mengajukan pandangan, pendapat
atau pemikiran lain, baik yang sudah banyak diketahui masyarakat maupun
yang belum diketahui.
Kegunaan artikel bagi penerbit surat kabar atau
majalah adalah untuk membedakan pemuatan antara berita (fakta) dan
opini. Hampir semua penerbitan surat kabar menyediakan satu halaman.
Khusus untuk artikel yang disebut opinion page. Halaman ini memberi
kesempatan kepada khalayak pembacanya untuk menyampaikan pendapatnya
(opini). Bagi penerbit media massa pengiriman artikel oleh pembacanya,
merupakan bukti umpan balik bagi penerbitannya.
Bagi
pembaca surat kabar atau majalah, halam artikel atau opinion page, dapat
dimanfaatkan untuk menyampaikan pandangan, gagasan serta argumentasi
dari berita-berita atau situasi yang terjadi dan terekam dalam banaknya.
Artikel tidak sekadar sebagai penyampaian tanggapan atas suatu
peristiwa yang termuat dalam suatu penerbitan surat kabar atau majalah,
tetapi juga untuk kepentingan penulisannya sendiri. Bagi pegawai negeri
atau karyawan swasta yang mempunyai jabatan fungsional seperti peneliti,
dosen, guru dan sebagainya, artikel di media massa digunakan untuk
memenuhi angka kredit bagi kenaikan jabatannya. Kenaikan jabatan
fungsional bagi pegawai negeri atau perusahaan swasta, salah satu
persyaratannya adalah dengan menulis artikel di media massa.
Dalam menulis artikel, memilih judul memerlukan perhatian khusus.
Jika judul itu pas dan menarik, redaktur media massa tertarik pula untuk
memuatnya. Itulah sebabnya memilih judul dalam penulisan artikel,
memerlukan pemikiran, pertimbangan dan penyesuian secara khusus. Ada
sebagian penulis yang menentukan judul artikelnya pada akhir dari proses
penulisannya. Artinya, setelah semua permasalahan diungkapkan dalam
bentuk artikel, baru ia menentukan judulnya. Tetapi ada juga justru
sebaliknya, judul ditentukan terlebih dulu baru menulis isinya.
Pengalaman saya sebagai penulis, yang pertama dilakukan adalah
menentukan topik lebih dulu, kemudian mencari literatur, mengungkapkan
permasalahan, baru memilih judul yang tepat. Karena kadang-kadang, dari
isi tulisan itulah justru muncul kata-kata yang tepat untuk sebuah
judul. Judul sebuah artikel sebaiknya memenuhi kriteria berikut: (1)
atraktif dan baru. Artinya judul itu harus bersifat atraktif dan belum
pernah dipakai oleh penulis lain. Sebaiknya judul dikaitkan dengan
permasalahan inti dari artikel tersebut. Ini akan menarik dan mengundang
rasa ingin tahu baik dari pembaca maupun oleh redaktur media massa; (2)
tidak panjang. Membuat judul artikel jangan terlalu panjang, sebaiknya
terdiri dari subjek dan predikat saja. Apabila ingin judul yang panjang,
buatlah judul utama dan sub judul. Judul yang terlalu panjang, selain
tidak menarik, juga menghabiskan kolom pada surat kabar, hal ini justru
dihindari oleh redaktur media massa; (3) punya relevansi. Judul harus
memiliki relevansi dengan isi artikel, sekaligus mencerminkan gagasan
sentralnya. Artinya, jika artikel yang ditulis itu tentang dampak
ekonomi, maka judulnya jangan berisi masalah ekonomi. Harusnya tentang
dampak yang timbul dari gejolak ekonomi yang muncul.
Redaktur media massa biasanya mengelompokkan artikel, menjadi beberapa
jenis berdasarkan sudut pandang penulis, dalam memaparkan ide atau
gagasannya. Pengelompokan ini oleh redaktur dipakai untuk memudahkan
penempatan pemuatannya, pada halam yang sesuai dengan misi dan visi
penerbitannya. Ada lima jenis artikel antara lain: (1) eksploratif.
Artikel eksploratif adalah artikel yang mengungkapkan fakta berdasarkan
kajian penulisnya. Jenis ini cocok untuk menguraikan penemuan baru,
misalnya seorang menemukan benda antik peninggalan zaman purba. Penulis
artikel kemudian menelusuri sejarah barang yang ditemukan itu dan
menguraikannya melalui suatu tulisan artikel. Tulisan ini menurut
redaksi dikelompokkan dalam jenis artikel eksploratif; (2) eksplanatif,
artinya menerangkan. Artikel eksplanatif adalah artikel yang isinya
memnerangkan sesuatu untuk dapat dipahami pembaca. Misalnya ketika
Presiden Gusdur berkeinginan membubarkan parlemen (DPR) dengan sebutan
dekrit presiden, mengundang berbagai tanggapan dari pengamat. Penulis
artikel yang jeli, membuat artikel dengan menerangkan apa sih sebenarnya
dekrit presiden itu, bagaimana caranya dan sebagainya. Jika ada artikel
seperti ini disebut artikel ekplanatif; (3) deskriptif, adalah artikel
yang menggambarkan suatu permasalahan yang terjadi di tengah masyarakat,
sehingga dapat mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Jenis artikel
ini mirip dengan laporan atau reportase, bedanya jika laporan atau
reportase hanya berdasarkan fakta saja, tetapi artikel, penulisnya bisa
memasukan opini untuk memperjelas masalah yang digambarkan itu.
Misalnya, ketika terjadi bentrok antara mahasiswa dengan aparat keamanan
dalam peristiwa Semanggi di Jakarta, seorang penulis yang kebetulan
melihat secara langsung dalam peristiwa itu lantas menggambarkan keadaan
yang sesungguhnya dari peristiwa itu, dalam satu bentuk artikel; (4)
prediktif, adalah artikel yang berisi perhitungan atau ramalan apa yang
bakal terjadi di kemudian hari berdasarkan perhitungan penulisnya.
Misal, ketika Bank Indonesia memutuskan suku bunga deposito, seorang
pengamat ekonomi memperkirakan atau memprediksikan kelak kemudian hari
bakal banyak deposan (orang yang mempunyai simpanan deposito)
memindahlan uangnya ke luar negeri. Akibatnya modal dalam negeri banyak
yang parkir di luar negeri. Arikel ini disebut artikel prediktif; (5)
preskriptif, adalah artikel yang memberikan tuntunan kepada pembacanya
untuk melakukan sesuatu sehingga tidak mengalami kekeliruan atau
kesalahan. Misalnya artikel bagaimana caranya mengurus paspor, KTP atau
SIM tanpa melalui perantara. Penjelasan detail yang sifatnya menuntun
pembaca, sangat diperlukan.
2. Karya Ilmiah
Menurut Dr.
H. Endang Danial AR., M.Pd. (2001:4) bahwa karya ilmiah adalah berbagai
macam tulisan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok dengan
menggunakan tata cara ilmiah. Tata cara ilmiah adalah suatu sistem
penulisan yang didasarkan pada sistem, masalah, tujuan, teori dan data
untuk memberikan alternatif pemecahan masalah tertentu. Sedangkan
Djuroto dan Bambang (2003:12-13) bahwa karya tulis ilmiah adalah suatu
tulisan yang membahas suatu masalah. Pembahasan itu dilakukan
berdasarkan penyelidikan, pengamatan, pengumpulan data yang didapat dari
suatu penelitian, baik penelitian lapangan, tes laboratorium ataupun
kajian pustaka. Maka dalam memaparkan dan menganalisis datanya harus
berdasarkan pemikiran ilmiah. Pemikiran ilmiah adalah pemikiran yang
logis dan empiris. Logis artinya masuk akal, sedangkan empiris adalah
dibahas secara mendalam, berdasarkan fakta yang dapat dipertanggung
jawabkan (dapat dibuktikan).
Pemikiran ilmiah pada lingkup keilmuan,
terdiri dari dua tingkatan yaitu, tingkat abstrak dan tingkat empiris.
Pemikiran ilmiah tingkat abstrak berkaitan dengan penalaran. Pada
tingkatan ini, pemikirannya bebas tetapi sedikit terikat dengan waktu
atau ruangan. Sedangkan pemikiran empiris berkaitan dengan pengamatan.
Kerena berkaitan dengan pengamatan, maka pemikiran empiris ini sangat
terkait dengan waktu dan ruangan. Boleh jadi pemikiran empiris ini
dilakukan dalam waktu dan ruangan tertentu.
Dalam proses pemikiran
ilmiah seseorang selalu memulai dengan apa yang disebut pendekatan
ilmiah. Pendekatan ilmiah, merupakan gabungan dari dua pendekatan yaitu
pendekatan induktif dan pendekatan deduktif. Pemahaman terhadap
pendekatan induktif dan deduktif ini perlu dilakukan secara bersama,
karena hasil yang dicapai dari kedua pendekatan itu berbeda.
Pendekatan
induktif adalah pengalaman atau pengamatan seseorang pada tingkat
empiris, menghasilkan konsep, memodifikasi model hipotesis menjadi
teori, dan bermuara di tingkat abstrak. Pendekatan deduktif merupakan
titik tolak penalaran serta perenungan di tingkat abstrak, yang
menghasilkan pengukuran konsep serta pengujian hipotesis.
Karya tulis
ilmiah merupakan serangkaian kegiatan penulisan berdasarkan hasil
penelitian, yang sistematis berdasar pada metode ilmiah, untuk
mendapatkan jawaban secara ilmiah terhadap permasalahan yang muncul
sebelumnya. Banyak cara untuk menemukan jawaban dari penelitian
tersebut. Untuk memperjelas jawaban ilmiah terhadap permasalahan atau
pertanyaan yang ada dalam penelitian, penulisan karya ilmiah harus
menggali khazanah pustaka, guna melengkapi teori-teori atau
konsep-konsep yang relevan dengan permasalahan yang ingin dijawabnya.
Untuk itu penulisan karya ilmiah harus rajin dan teliti dalam hal
membaca dan mencatat konsep-konsep serta teori-teori yang mendukung
karya tulis ilmiahnya.
Dalam memberikan jawaban terhadap permasalahan
yang timbul pada suatu penelitian, penulisan karya ilmiah harus bisa
membuktikan melalui dua cara. Pertama, jawaban itu merupakan jawaban
final terhadap permasalahan penelitian. Kedua, jawaban tersebut harus
menjadi jawaban yang paling benar, meskipun masih akan dibuktikan lagi
pada tahap lainnya. Jawaban pertama erupakan konklusi yang nantinya
sangat diperlukan sebagai suatu thesis. Sedangkan jawaban kedua,
merupakan konklusi sementara yang nantinya diperlukan sebagai hipotesis.
Meskipun
jawaban penelitian tersebut sudah didapatkan, penulisan karya ilmiah
masih harus membuktikan, apakah jawaban tersebut memang bisa dirasakan
kebenarannya. Untuk itu diperlukan sumber informasi lainnya yang
mendukung jawaban yang telah didapatkan. Jawaban permasalahan yang ada
pada penelitian, bisa mendukung dan juga bisa menolak hipotesis yang
ada. Jika jawaban itu mendukung hipotesis maka bisa dikatakan hipotesis
diterima, tetapi jika jawabannya tidak mendukung hipotesis, maka disebut
hipotesis dalam penelitian ini ditolak.
Dengan demikian, penulisan
karya ilmiah, hanya bisa dilakukan sesudah timbul suatu masalah, yang
kemudian dibahas (dijawab) melalui kegiatan penelitian. Karena
berdasarkan hasil penelitian, maka pada akhirnya penulisan karya ilmiah,
selalu dikemukakan suatu kesimpulan dan rekomendasi. Kesimpulan
dimaksudkan sebagai pemikiran terakhir dari proses telaah melalui
penelitian, sedangkan rekomendasi diperuntukkan bagi langkah selanjutnya
dalam menyelesaikan permasalahan yang ditimbulkan.
Kesimpulan atau
temuan penelitian, tidak selalu berupa sesuatu halyang baru. Bisa jadi
kesimpulan atau temuan dari hasil penelitian itu, merupakan kelanjutan
dari kesimpulan atau temuan pada penelitian yang dilakukan sebelumnya.
Karena penelitian merupakan suatu proses, maka hasil penelitian itu
tidak bisa dikatakan baik atau jelek. Jadi jika ada seseorang menyebut
bahwa hasil penelitiannya itu baik atau tidak baik, atau juga menyebut
benar atau tidak benar, maka sebutan itu tidak tepat. Yang tepat,
sebutan untuk hasil penelitian adalah ukuran signifikansinya
(significance) atau meyakinkan.
Pada dasarnya semua ilmu ataupun
teknologi yang ada di dunia ini, perlu diteliti, ditingkatkan dan
dikembangkan fungsi dan peranannya untuk melahirkan perubahan. Karena
yang kekal di dunia ini hanya satu, yaitu perubahan. Perubahan yang
positif melahirkan kemajuan dan kemajuan inilah yang dituntut oleh ilmu
pengetahuan. Tanpa kemajuan, kehidupan di dunia tidak ada artinya sama
sekali.
Salah satu cara untuk mencapai kemajuan adalah dengan
melakukan pengamatan, pengkajian, dan penelitian dari sumber ilmu
tersebut yang dituangkan dalam bentuk karya tulis ilmiah. Salah satu
tugas para ilmuwan (scientists) atau para pandit (scolars) adalah
memaparkan hasil kajian, pengamatan atau penelitiannya kepada masyarakat
luas.
Penulisan karya ilmiah diharapkan dapat membantu para
cendekiawan untuk menemukan sesuatu yang baru, guna menunjang
peningkatan taraf kehidupan masyarakat secara luas. Pada lingkungan
perguruan tinggi karya ilmiah berupa skripsi digunakan untuk meraih
gelar sarjana (S1), tesis digunakan untuk magister (S2), dan disertasi
untuk gelar doktor (S3). Sedangkan bagi pejabat fungsional, karya tulis
ilmiah merupakan persyaratan untuk mendapatkan angka kredit bagi
kenaikan jabatannya.
Sebenarnya kegunaan penulisan karya ilmiah bukan
hanya sekadar untuk mendapatkan gelar atau memperoleh kredit pont untuk
kenaikan jabatan, tetapi tujuan utama dibuatnya karya tulis ilmiah
adalah untuk mendokumentasikan hasil-hasil penelitian yang berhasil
mendapatkan atau membuktikan kebenaran ilmiah. Mungkin yang tidak sama
adalah gradasi kebenaran ilmiah yang ingin atau berhasil dicapai oleh
seseorang. Bagi seorang peneliti profesional, keuntungan yang paling
besar dan berharga dari semua karyanya adalah jika ia menemukan
kebenaran ilmiah yang kemudian dibukukan. Penemuan kebenaran ilmiah yang
kemudian dibukukan dalam karya tulis ilmiah ini bertujuan adalah (1)
pengakuan scientific objective untuk memperkaya khazanah ilmu
pengetahuan, dengan pemaparan teori-teori baru yang sahih serta
terandalkan, (2) pengakuan practicial objective guna membantu pemecahan
problema praktisi yang mendesak.
Judul adalah kepala karya tulis
ilmiah, sedangkan topik adalah pokok-pokok permasalahan yang akan
dijadikan objek dalam penelitian sebagai bahan utama penulisan karya
ilmiah. Jadi topik bisa diangkat menjadi judul, tetapi sebaliknya judul
bukan merupakan topik bahasan. Judul dalam suatu karya tulis ilmiah
adalah ciri atau identitas yang menjiwai seluruh karya tulis ilmiah.
Judul pada hakikatnya merupakan gambaran konseptual dari kerangka kerja
suatu karya tulis ilmiah. Itu sebabnya, dalam penulisan karya tulis
ilmiah tidak bisa memaparkan begitu saja dari apa yang akan ditulis,
tetapi harus runtut mengikuti kerangka kerja (framework) dari konsep
yang akan dipaparkannya.
Judul merupakan kalimat yang terdiri dari
kata-kata yang jelas, tidak kabur, singkat, tidak bertele-tele.
Pemilihan kata-kata untuk judul sebaiknya saling terkait atau runtut,
menggunakan kalimat yang tidak puitis apalagi sampai sensasional.
Menurut Sutrisno Hadi (1980), judul mempunyai dua fungsi pokok dalam
penulisan karya ilmiah. Bagi pembaca, judul menunjukkan hakikat dari
objek penelitian yang dilakukan sebelumnya. Sedangkan bagi penulisnya,
judul merupakan patokan dalam menyusun tulisannya.
Memilih judul
untuk suatu karya tulis ilmiah tidak sebebas membuat judul pada
penulisan artikel. Judul karya tulis ilmiah harus disesuaikan dengan
topik bahasan yang sudah ditentukan sebelumnya. Jelasnya pada penulisan
karya ilmiah tidak bisa langsung menulis baru menentukan judulnya. Ini
karena penulisan karya ilmiah terkait dengan kegiatan ilmiah, sementara
kegiatan ilmiah sudah dibuat desainnya terlebih dahulu, di mana judul
termasuk di dalamnya.
Seperti halnya artikel, judul karya tulis
ilmiah, sebaiknya tidak terlalu panjang dan jangan juga terlalu pendek.
Jika judul terlalu panjang, orang yang membacanya akan kesulitan
memahami apa sebenarnya yang ada dalam karya tulis ilmiah tersebut. Itu
sebabnya judul yang panjang menjadi tidak menarik. Judul karya tulis
ilmiah sebaiknya terdiri dari delapan sampai dua belas kata yang
merupakan hubungan dua variabel atau lebih.
Pada prinsipnya semua
karya tulis ilmiah itu sama yaitu hasil dari suatu kegiatan ilmiah. Yang
membedakan hanyalah materi, susunan, tujuan serta panjang pendeknya
karya tulis ilmiah tersebut. Untuk membedakan jenis atau macam karya
tulis ilmiah dipakai beberapa sebutan, seperti laporan praktikum, naskah
berkala, laporan hasil studi lapangan, texbook, hand out, paper, pra
skripsi, tesis dan disertasi.
Penentuan jenis atau macam karya ilmiah
biasanya disesuaikan dengan keperuntukan karya ilmiah tersebut. Secara
garis besar, karya ilmiah diklasifikasikan menjadi dua, yaitu karya
ilmiah pendidikan dan karya ilmiah penelitian. Karya ilmiah pendidikan
digunakan sebagai tugas untuk meresume pelajaran, serta sebagai
persyaratan mencapai suatu gelar pendidikan yang meliputi (1) paper
(karya tulis) adalah karya ilmiah berisi ringksan atau resume dari suatu
mata kuliah tertentu atau ringkasan dari suatu ceramah yang diberikan
oleh dosen kepada mahasiswanya. Tujuannya melatih mahasiswa untuk
mengambil intisari dari mata kuliah atau ceramah yang diajarkan. Karena
baru tahap untuk latihan, materi tulisannya juga masih sederhana, yaitu
hanya berupa catatan poin-poin yang dianggap penting dari mata kuliah
atau ceramah tersebut, kemudian dirangkai dalam susunan kalimat menjadi
suatu karya tulis agar mudah dimengerti dan dipahami; (2) skripsi adalah
karya tulis ilmiah pendidikan yang digunakan sebagai persyaratan
mendapatkan gelar sarjana (S1). Istilah skripsi berasal dari kalimat
deskripsi (deskription) yang berarti memberikan gambaran tentang suatu
masalah yang dibahas dengan memaparkan data serta pustaka untuk
menghasilkan kesimpulan. Pembahasan dalam skripsi harus dilakuakn
mengikuti pemikiran ilmiah yaitu logis dan empiris; (3) tesis adalah
suatu karya ilmiah pendidikan yang diperuntukannya sebagai salah satu
persyaratan bagi mahasiswa pascasarjana untuk mendapatkan gelar magister
(S2). Istilah tesis berasal dari kata sinthesa (sinthation). Skripsi
bertujuan mendeskripsikan ilmu, maka tesis bertujuan mensinthesakan ilmu
yang diperoleh dari perguruan tinggi, guna memperluas khazanah ilmu
yang didapatkan di bangku kuliah. Perluasan khazanah itu terutama berupa
temuan baru hasil dari suatu penelitian. Itu sebabnya penulisan skripsi
dan tesis harus berdasarkan hasil penelitian ilmiah; (4) disertasi
(dissertation) adalah suatu karya tulis ilmiah yang mempunyai sumbert
utamanya berupa penyelidikan laboratorium, atau penelitian lapangan.
Jadi disertasi harus menghasilkan suatu temuan baru, baik dari ilmua
soasial maupunilmu eksakta. Di kalangan perguruan tinggi, karya tulis
ilmiah disertasi merupakan tugas akhir yang dibebankan kepada seorang
mahasiswa dari perguruan tingginya untuk meraih gelar doktor. Itu
sebabnya seorang doktor harus menemukan sesuatu yang dapat menunjang
perkembangan ilmu pengetahuan.
Berbeda dengan penulisan skripsi atau
tesis yang hanya bersumber dari data dan pustaka saja. Disertasi harus
lebih lengkap lagi dengan tiga sumber sekaligus yaitu data lapangan,
penelitian laboratorium serta kajian pustaka. Dalam mengungkapkan teori
untuk memecahkan permasalahan, disertasi wajib menyatakan dalil-dalil
atau teori-teori baru secara ilmiah yang diperolehnya, serta sanggahan
terhadap teori lama dan sebagainya. Penemuan teori atau dalil baru
inilah sebenarnya yang menunjukkan ciri khas suatu karya tulis ilmiah
berupa disertasi.
Temuan baru atau teori baru yang dihasilakan oleh
suatu disertasi dapat berasal dari disiplin ilmu arau spesialisasi dari
penulisnya sendiri atau berasal dari disiplin ilmu lainnya yang dapat
menunjang atau membenarkan dalil atau teori baru yang diungkapkannya.
Itu sebabnya penulisan disertasi membutuhkan waktu yang panjang, karena
harus dapat menemukan dalil atau teori baru.
Mahasiswa yang menulis
disertasi disebut promovendus, dimana dalam pembuatan karya tulis ilmiah
disertasinya itu di bawah bimbingan seorang atau beberapa orang guru
besar (profesor) yang mempromotorinya. Para pembimbing inilah yang
nantinya harus mempertahankan disertasi promovendus terhadap sanggahan
yang akan diberikan oleh para penguji atau guru besar universitas di
mana promosi seorang doktor itu dilaksanakan.
Karya
ilmiah panduan, meliputi: (1) panduan pelajaran (texbook), untuk
memberikan panduan (guidance) kepada mahasiswa, dosen atau masyarakat
umum yang berminat membuat karya ilmiah, misalnya buku panduan
penulisan skripsi, panduan membuat laporan praktek kerja (magang),
panduan membuat laporan kuliah kerja lapangan, dan sebagainya; (2) buku
pegangan (handbook), bertujuan memberikan petunjuk cara
mengoperasionalkan suatu barang yang sudah ada, misalnya buku pegangan
mengoperasionalkan pengisian data penelitian dalam komputer, petunjuk
penggunaan peralatan laboratorium, petunjuk pembuatan pertanyaan
(kuesioner); (3) buku pelajaran (diktat), yakni dibuat oleh guru, dosen
atau guru besar untuk mata pelajaran atau mata kuliah yang diajarkannya.
Karya ilmiah referensi, meliputi: (1) kamus, berisi kata-kata
yang mengandung arti yang sama, atau terjemahan kata dari dua bahasa
atau lebih, misalnya kamus bahasa Inggris, bahasa Indonesia yang isinya
memuat penjelasan lebih detail lagi dari suatu kata. Kamus juga bisa
dikelompokkan kata-kata dalam lingkup tersendiri, misal kamus
jurnalistik, kamus sosiologi, kamus antropologi, kamus ekonomi, kamus
politik, kamus hukum dan sebagainya. Kamus-kamus tersebut biasanya
dijadikan referensi bagi pelajar, mahasiswa dan juga masyarakat umum;
(2) ensiklopedia adalah buku yang berisi berbagai keterangan atau uraian
ringkas tentang cerita, ilmu pengetahuan yang disusun menurut abjad
atau menurut lingkungan ilmu, misal ensiklopedia ilmu-ilmu sosial,
ensiklopedia satwa Indonesia, ensiklopedia flora dan fauna Indonesia dan
sebagainya.
Karya ilmiah penelitian, yang meliputi: (1)
makalah seminar, yang terdiri atas naskah seminar dan naskah bersambung;
(2) laporan hasil penelitian dan; (3) jurnal penelitian.
IV. Kesimpulan
Berdasarkan beberapa penjelasan di atas maka dapat disimpulkan hal-hal berikut:
1.
Karya ilmiah harus mengandung kebenaran ilmiah, yakni kebenaran
yang tidak hanya didasarkan atas rasio, tetapi juga dapat dibuktikan
secara empiris.
2. Prose berpikir ilmiah terdiri atas pengajuan
masalah, perumusan hipotesis dan verifikasi data. Sedangkan hasilnya
(hasil berpikir ilmiah) disajikan dan ditulis secara sistematis menurut
aturan metode ilmiah.
3. Karya ilmiah biasanya ditampilkan dalam
bentuk makalah ilmiah, skripsi, tesis, disertasi dan hasil penelitian.
Penelitian ilmiah lebih ditujukan untuk pengembangan ilmu dan menguji
kebenaran ilmu. Sedangkan makalah ilmiah dapat juga dibuat para
mahasiswa di perguruan tinggi dalam rangka penyelesaian studinya. Proses
berpikir ilmiah dapat dilakukan melalui pola berpikir deduktif dan
berpikir induktif.
DAFTAR PUSTAKA
Danial AR, Endang.
2001. Penulisan Karya Ilmiah: Salah Satu Pandunan untuk Mahasiswa dan
Guru PPKN dalam Mengembangkan Profesi melalui Karya Tulis Ilmiah.
Bandung: Ath-thoyyibiyah.
Darmoto & Ani M..Hasan. 2002. Menyelesaikan Skripsi dalam Satu Semester.Jakarta: Grasindo.
Djuroto, Totok dan Bambang Suprijadi. 2003. Menulis Artikel & Karya Ilmiah. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Sudjana, Nana. 2001. Tuntunan Penyusunan Karya Ilmiah: Makalah-Skripsi-Tesis-Disertasi. Jakarta: Sinar Baru Algesindo.
Rabu, 30 April 2014
PEPATAH JAWA DAN MAKNANYA
Pepatah Jawa di atas secara harfiah berarti benalu
mengajak patah. Pepatah ini dalam masyarakat Jawa dimaksudkan sebagai
bentuk petuah atau sindiran bagi orang yang menumpang pada seseorang,
namun orang yang menumpang itu justru menimbulkan gangguan, kerugian,
dan bahkan kebangkrutan bagi yang ditumpanginya.
Benalu adalah jenis tanaman parasit yang menghisap sari-sari makanan dari pohon yang ditumpanginya. Dalam pepatah di atas benalu tersebut tidak saja digambarkan menghisap sari-sari makanan dari induk tanaman yang ditumpanginya, namun benalu tersebut justru mengajak dahan yang ditumpanginya untuk patah.
Hal ini bisa terjadi pada sebuah keluarga yang menampung seseorang (atau semacam indekosan) akan tetapi orang yang menumpang itu dari hari ke hari justru menimbulkan kerugian pada yang induk semangnya. Kerugian itu bisa berupa materiil maupun spirituil. Mula-mula orang yang indekos ini hanya menempati sebuah kamar. Akan tetapi karena kelicikan dan keculasannya bisa saja kemudian ia melakukan rekayasa sehingga orang yang punya rumah induk justru terusir karenanya.
Contoh lain dari pepatah itu dapat dilihat juga pada berbagai peristiwa sosial yang kerap terjadi di tempat-tempat indekosan. Oleh karena sebuah keluarga menyediakan kamar-kamar indekosan, tidak jarang orang yang indekos akhirnya terlibat percintaan dengan bapak atau ibu kosnya sendiri sehingga keluarga yang semula menyediakan indekosan itu hancur urusan rumah tangganya.
Persoalan semacam itu juga dapat terjadi pada sebuah perusahaan. Orang yang mendapat kepercayaan pada sebuah perusahaan oleh karena jiwa tamak dan rakusnya sering kemudian memanfaatkan kekayaan atau dana perusahaan untuk memperkaya diri sendiri. Akibatnya perusahaan mengalami kebangkrutan atauy bahkan tutup usaha atau kegiatan karenanya
Benalu adalah jenis tanaman parasit yang menghisap sari-sari makanan dari pohon yang ditumpanginya. Dalam pepatah di atas benalu tersebut tidak saja digambarkan menghisap sari-sari makanan dari induk tanaman yang ditumpanginya, namun benalu tersebut justru mengajak dahan yang ditumpanginya untuk patah.
Hal ini bisa terjadi pada sebuah keluarga yang menampung seseorang (atau semacam indekosan) akan tetapi orang yang menumpang itu dari hari ke hari justru menimbulkan kerugian pada yang induk semangnya. Kerugian itu bisa berupa materiil maupun spirituil. Mula-mula orang yang indekos ini hanya menempati sebuah kamar. Akan tetapi karena kelicikan dan keculasannya bisa saja kemudian ia melakukan rekayasa sehingga orang yang punya rumah induk justru terusir karenanya.
Contoh lain dari pepatah itu dapat dilihat juga pada berbagai peristiwa sosial yang kerap terjadi di tempat-tempat indekosan. Oleh karena sebuah keluarga menyediakan kamar-kamar indekosan, tidak jarang orang yang indekos akhirnya terlibat percintaan dengan bapak atau ibu kosnya sendiri sehingga keluarga yang semula menyediakan indekosan itu hancur urusan rumah tangganya.
Persoalan semacam itu juga dapat terjadi pada sebuah perusahaan. Orang yang mendapat kepercayaan pada sebuah perusahaan oleh karena jiwa tamak dan rakusnya sering kemudian memanfaatkan kekayaan atau dana perusahaan untuk memperkaya diri sendiri. Akibatnya perusahaan mengalami kebangkrutan atauy bahkan tutup usaha atau kegiatan karenanya
SAPA NANDUR BAKAL NGUNDHUH
Pepatah Jawa di atas
secara harfiah berarti siapa menanam akan menuai. Secara luas pepatah
ini berarti bahwa apa pun yang kita perbuat di dunia ini akan ada
hasilnya sesuai dengan apa yang kita perbuat. Ibarat orang menanam pohon
pisang, ia pun akan menuai pisang di kemudian hari. Jika ia menanam
salak ia pun akan menuai salak di kemudian hari.
Secara lebih jauh pepatah ini ingin mengajarkan kepada kita bahwa jika kita melakukan perbuatan yang tidak baik, maka di kemudian hari kita pun akan mendapatkan sesuatu yang tidak baik. Entah itu dari datangnya atau bagaimanapun caranya. Intinya, pepatah ini ingin mengajarkan hukum keseimbangan yang dalam bahasa Indionesia mungkin sama maknanya dengan pepatah, siapa menabur angin akan menuai badai.
Jika Anda merasa berbuat buruk, lebih-lebih perbuatan buruk tersebut merugikan, melemahkan, mengecilkan, bahkan “mematikan” orang lain, bersiap-siaplah Anda untuk menerima balasannya kelak di kemudian hari. Balasan itu mungkin sekali tidak langsung mengenai Anda, tetapi bisa juga mengenai anak keturunan Anda, saudara, atau famili Anda.
Apabila Anda merasa telah berbuat kebajikan, Anda boleh merasa tenteram sebab Anda pun akan menuai hasilnya kelak di kemudian hari. Hasil itu mungkin tidak langsung Anda terima, namun bisa jadi yang menerima adalah anak keturunan Anda, saudara, atau famili Anda. Hasil itu belum tentu sama seperti yang Anda perbuat, namun bobot, makna, atau nilainya barangkali bisa sama.
Demikian makna pepatah yang masih banyak diyakini kebenarannya oleh masyarakat Jawa ini.
Secara lebih jauh pepatah ini ingin mengajarkan kepada kita bahwa jika kita melakukan perbuatan yang tidak baik, maka di kemudian hari kita pun akan mendapatkan sesuatu yang tidak baik. Entah itu dari datangnya atau bagaimanapun caranya. Intinya, pepatah ini ingin mengajarkan hukum keseimbangan yang dalam bahasa Indionesia mungkin sama maknanya dengan pepatah, siapa menabur angin akan menuai badai.
Jika Anda merasa berbuat buruk, lebih-lebih perbuatan buruk tersebut merugikan, melemahkan, mengecilkan, bahkan “mematikan” orang lain, bersiap-siaplah Anda untuk menerima balasannya kelak di kemudian hari. Balasan itu mungkin sekali tidak langsung mengenai Anda, tetapi bisa juga mengenai anak keturunan Anda, saudara, atau famili Anda.
Apabila Anda merasa telah berbuat kebajikan, Anda boleh merasa tenteram sebab Anda pun akan menuai hasilnya kelak di kemudian hari. Hasil itu mungkin tidak langsung Anda terima, namun bisa jadi yang menerima adalah anak keturunan Anda, saudara, atau famili Anda. Hasil itu belum tentu sama seperti yang Anda perbuat, namun bobot, makna, atau nilainya barangkali bisa sama.
Demikian makna pepatah yang masih banyak diyakini kebenarannya oleh masyarakat Jawa ini.
AMEMAYU HAYUNING BUWANA
Pepatah Jawa ini secara harfiah berati mempercantik
kecantikan dunia. Pepatah ini menyarankan agar setiap insan manusia
dapat menjadi agen bagi tujuan itu. Bukan hanya mempercantik atau
membuat indah kondisi dunia dalam pengertian lahir batin, namun juga
bisa membuat hayu dalam pengertian rahayu ’selamat’ dan sejahtera.
Dengan demikian pepatah ini sebenarnya ingin menyatakan bahwa alangkah indah, selamat, cantik, dan eloknya kehidupan di dunia ini jika manusia yang menghuninya bisa menjadi agen bagi hamemayu hayuning buwana itu. Untuk itu setiap manusia disarankan untuk tidak merusakkan dunia dengan perilaku-perilaku buruk dan busuk. Perilaku yang demikian ini akan berbalik pada si pelaku sendiri dan juga lingkungannya. Hal inilah yang merusakkan dunia. Untuk itu pengekangan diri untuk tidak berlaku jahat, licik, culas, curang, serakah, menang sendiri, benar sendiri, dan seterusnya perlu diwujudkan untuk mencapai hayuning buwana.
Tentu saja makna yang dimaksudkan oleh pepatah ini adalah makna dalam pengertian lahir batin. Keduanya harus seimbang. Tanpa itu apa yang dimaksud dari hamemayu hayuning buwana itu akan gagal. Sebab tindakan yang tidak didasari ketulusan dan kesucian hati hanya akan menumbuhkan pamrih di luar kewajaran atau tendensi yang barangkali justru menjadi bumerang bagi tujuan pepatah itu. Sebab hamemayu hayuning buwana mendasarkan diri pada niat yang suci atau tulus dalam mendarmabaktikan karya (kerjanya) bagi dunia.
Dengan demikian pepatah ini sebenarnya ingin menyatakan bahwa alangkah indah, selamat, cantik, dan eloknya kehidupan di dunia ini jika manusia yang menghuninya bisa menjadi agen bagi hamemayu hayuning buwana itu. Untuk itu setiap manusia disarankan untuk tidak merusakkan dunia dengan perilaku-perilaku buruk dan busuk. Perilaku yang demikian ini akan berbalik pada si pelaku sendiri dan juga lingkungannya. Hal inilah yang merusakkan dunia. Untuk itu pengekangan diri untuk tidak berlaku jahat, licik, culas, curang, serakah, menang sendiri, benar sendiri, dan seterusnya perlu diwujudkan untuk mencapai hayuning buwana.
Tentu saja makna yang dimaksudkan oleh pepatah ini adalah makna dalam pengertian lahir batin. Keduanya harus seimbang. Tanpa itu apa yang dimaksud dari hamemayu hayuning buwana itu akan gagal. Sebab tindakan yang tidak didasari ketulusan dan kesucian hati hanya akan menumbuhkan pamrih di luar kewajaran atau tendensi yang barangkali justru menjadi bumerang bagi tujuan pepatah itu. Sebab hamemayu hayuning buwana mendasarkan diri pada niat yang suci atau tulus dalam mendarmabaktikan karya (kerjanya) bagi dunia.
WANI NGALAH LUHUR WEKASANE
Pepatah Jawa ini secara
harfiah berarti berani mengalah akan mulia di kemudian hari.
Orang boleh saja mencemooh pepatah yang sekilas memperlihatkan makna tidak mau berkompetisi, pasrah, penakut, lemah, dan sebagainya. Namun bukan itu sesungguhnya yang dimaksudkan. Wani ngalah sesungguhnya dimaksudkan agar setiap terjadi persoalan yang menegangkan orang berani mengendorkan syarafnya sendiri atau bahkan undur diri. Lebih-lebih jika persoalan itu tidak berkenaan dengan persoalan yang sangat penting.
Pada persoalan yang sangat penting pun jika orang berani mengalah (sekalipun ia jelas-jelas berada pada posisi benar dan jujur), kelak di kemudian hari ia akan memperoleh kemuliaan itu. Bagaimana kok bisa begitu ? Ya, karena jika orang sudah mengetahui semua seluk beluk, putih-hitam, jahat-mulia, culas-jujur, maka orang akan dapat menilai siapa sesunggunya yang mulia itu dan siapa pula yang tercela itu. Orang akan dapat menilai, menimbang: mana loyang, mana emas.
Memang, tidak mudah bahkan teramat sulit dan nyaris mustahil untuk bersikap wani ngalah itu. Lebih-lebih di zaman yang semuanya diukur serba uang, serba material, hedonis, dan wadag semata seperti zaman ini. Namun jika kita berani memulai dari diri sendiri untuk bersikap seperti itu, dapat dipastikan kita akan beroleh kemuliaan di kemudian hari sekalipun sungguh-sungguh kita tidak mengharapkannya, karena kemuliaan itu sendiri tidak bisa diburu-buru atau diincar-incar seperti orang berburu burung. Kemuliaan didapatkan dengan laku serta keikhlasan. Jika kita mengharap-harapkannya, maka semuanya justru akan musnah. Kemuliaan itu sekalipun berasal dari diri kita sendiri namun orang lain lah yang menilainya. Bukan kita. Kita tidak pernah tahu apakah kita ini mulia atau tidak. Orang lain lah yang bisa menilai itu atas diri kita.
Orang boleh saja mencemooh pepatah yang sekilas memperlihatkan makna tidak mau berkompetisi, pasrah, penakut, lemah, dan sebagainya. Namun bukan itu sesungguhnya yang dimaksudkan. Wani ngalah sesungguhnya dimaksudkan agar setiap terjadi persoalan yang menegangkan orang berani mengendorkan syarafnya sendiri atau bahkan undur diri. Lebih-lebih jika persoalan itu tidak berkenaan dengan persoalan yang sangat penting.
Pada persoalan yang sangat penting pun jika orang berani mengalah (sekalipun ia jelas-jelas berada pada posisi benar dan jujur), kelak di kemudian hari ia akan memperoleh kemuliaan itu. Bagaimana kok bisa begitu ? Ya, karena jika orang sudah mengetahui semua seluk beluk, putih-hitam, jahat-mulia, culas-jujur, maka orang akan dapat menilai siapa sesunggunya yang mulia itu dan siapa pula yang tercela itu. Orang akan dapat menilai, menimbang: mana loyang, mana emas.
Memang, tidak mudah bahkan teramat sulit dan nyaris mustahil untuk bersikap wani ngalah itu. Lebih-lebih di zaman yang semuanya diukur serba uang, serba material, hedonis, dan wadag semata seperti zaman ini. Namun jika kita berani memulai dari diri sendiri untuk bersikap seperti itu, dapat dipastikan kita akan beroleh kemuliaan di kemudian hari sekalipun sungguh-sungguh kita tidak mengharapkannya, karena kemuliaan itu sendiri tidak bisa diburu-buru atau diincar-incar seperti orang berburu burung. Kemuliaan didapatkan dengan laku serta keikhlasan. Jika kita mengharap-harapkannya, maka semuanya justru akan musnah. Kemuliaan itu sekalipun berasal dari diri kita sendiri namun orang lain lah yang menilainya. Bukan kita. Kita tidak pernah tahu apakah kita ini mulia atau tidak. Orang lain lah yang bisa menilai itu atas diri kita.
GUSTI ALLAHE DHUWIT, NABINE JARIT
Pepatah Jawa ini secara harfiah berarti Gusti Allahnya
uang, nabinya kain. Pepatah ini sebenarnya ingin menggambarkan orang
yang hidupnya hanya memburu uang atau harta benda, kemewahan, dan
kenikmatan. Sehingga yang ada di dalam otak dan hatinya hanyalah
bagaimana mendapatkan uang, kemewahan, dan kenikmatan hidup itu. Bahkan
untuk mendapatkan itu semua ia rela melupakan segalanya. Baik itu etika,
moral, kebajikan, dan seterusnya. Tidak ada halangan apa pun sejauh itu
semua ditujukan untuk mendapatkan uang, kemewahan, dan kenikmatan.
Artinya, uang, kemewahan, dan kenikmatan adalah segala-galanya.
Orang boleh saja menampik pepatah itu. Akan tetapi di balik itu semua orang juga sangat sering tidak sadar bahwa seluruh daya hidup yang ada pada dirinya hanya ditujukan untuk tujuan duniawiah tersebut.
Orang boleh saja menampik pepatah itu. Akan tetapi di balik itu semua orang juga sangat sering tidak sadar bahwa seluruh daya hidup yang ada pada dirinya hanya ditujukan untuk tujuan duniawiah tersebut.
KEBO NYUSU GUDEL
Pepatah
tersebut di atas secara harfiah berarti kerbau menyusu gudel. Gudel
adalah nama anak kerbau. Jadi pepatah itu menunjukkan sebuah logika yang
terbalik atau dibalik.
Maksud dari pepatah itu adalah bahwa orang tua atau dewasa yang meminta pengetahuan, pelajaran, atau bahkan meminta jatah hidup kepada anaknya. Secara logika semestinya orang tua itu lebih dulu tahu, pintar, dan punya uang daripada anaknya. Akan tetapi pada banyak kasus logika semacam itu justru terbalik. Ada banyak orang tua yang minta pengetahuan atau pelajaran serta bahan untuk kelangsungan hidupnya pada anaknya.
Maksud dari pepatah itu adalah bahwa orang tua atau dewasa yang meminta pengetahuan, pelajaran, atau bahkan meminta jatah hidup kepada anaknya. Secara logika semestinya orang tua itu lebih dulu tahu, pintar, dan punya uang daripada anaknya. Akan tetapi pada banyak kasus logika semacam itu justru terbalik. Ada banyak orang tua yang minta pengetahuan atau pelajaran serta bahan untuk kelangsungan hidupnya pada anaknya.
KESRIMPET BEBED KESANDHUNG GELUNG
Pepatah Jawa ini secara
harfiah berarti terjerat bebed (kain jarit) tersandung gelung.
Secara luas pepatah ini ingin menggambarkan tentang terjeratnya seorang pria pada wanita. Bebed dan gelung dalam masyarakat Jawa adalah identik dengan wanita itu sendiri. Jadi, yang dikatakan sebagai kesrimpet bebed kesandung gelung adalah peristiwa terjeratnya seorang pria (biasanya yang telah berkeluarga) pada wanita wanita lain (bisa gadis, janda, atau ibu rumah tangga).
Dalam peristiwa semacam itu si pria bisa tidak berkutik sama sekali (karena telah terjerat dan tersandung) oleh wanita tersebut sehingga kehidupannya menjadi kacau dan serba tunduk pada wanita tersebut. Apa pun yang dimaui wanita itu akan dituruti oleh pria yang terlanjur kesrimpet tersebut.
Pepatah ini ingin mengajarkan agar kita semua tidak mudah terjerat oleh hal-hal yang nempaknya memang indah dan nikmat, namun di balik itu hal demikian justru mengancam ketenteraman, keselamatan, dan kenyamanan hidup kita sendiri dan orang lain (keluarga, saudara, tetangga, dan sebagainya).
Secara luas pepatah ini ingin menggambarkan tentang terjeratnya seorang pria pada wanita. Bebed dan gelung dalam masyarakat Jawa adalah identik dengan wanita itu sendiri. Jadi, yang dikatakan sebagai kesrimpet bebed kesandung gelung adalah peristiwa terjeratnya seorang pria (biasanya yang telah berkeluarga) pada wanita wanita lain (bisa gadis, janda, atau ibu rumah tangga).
Dalam peristiwa semacam itu si pria bisa tidak berkutik sama sekali (karena telah terjerat dan tersandung) oleh wanita tersebut sehingga kehidupannya menjadi kacau dan serba tunduk pada wanita tersebut. Apa pun yang dimaui wanita itu akan dituruti oleh pria yang terlanjur kesrimpet tersebut.
Pepatah ini ingin mengajarkan agar kita semua tidak mudah terjerat oleh hal-hal yang nempaknya memang indah dan nikmat, namun di balik itu hal demikian justru mengancam ketenteraman, keselamatan, dan kenyamanan hidup kita sendiri dan orang lain (keluarga, saudara, tetangga, dan sebagainya).
GUPAK PULUTE ORA MANGAN NANGKANE
Pepatah Jawa ini secara harfiah berarti tidak makan
nangkanya tetapi terkena getahnya. Secara luas pepatah Jawa ini ingin
menunjukkan sebuah peristiwa atau kiasan yang menggambarkan akan
kesialan seseorang karena ia tidak menikmati hasilnya tetapi justru
menerima resiko buruknya.
Hal semacam ini dapat dicontohkan misalnya ada dua atau lebih orang melakukan pencurian, namun hanya salah seorang yang kena tangkap. Orang yang kena tangkap itu kemudian dipukuli dan dihukum sedangkan temannya yang lolos berhasil membawa kabur hasil curiannya. Orang yang apes itulah yang dikatakan sebagai terkena getahnya. Sedangkan temannya yang kabur sambil menggondol curiannya itulah yang memakan nangkanya.
Dapat juga dicontohkan, ada seorang yang tidak tahu apa-apa tentang persoalan yang sedang terjadi di lingkungannya, namun tiba-tiba ia dikorbankan. Mungkin sekali ia dikorbankan karena ketidaktahuannya itu. Sementara orang yang mengambil manfaat dari perkara itu bisa melenggang dengan merdeka seperti tanpa dosa.
Hal semacam ini dapat dicontohkan misalnya ada dua atau lebih orang melakukan pencurian, namun hanya salah seorang yang kena tangkap. Orang yang kena tangkap itu kemudian dipukuli dan dihukum sedangkan temannya yang lolos berhasil membawa kabur hasil curiannya. Orang yang apes itulah yang dikatakan sebagai terkena getahnya. Sedangkan temannya yang kabur sambil menggondol curiannya itulah yang memakan nangkanya.
Dapat juga dicontohkan, ada seorang yang tidak tahu apa-apa tentang persoalan yang sedang terjadi di lingkungannya, namun tiba-tiba ia dikorbankan. Mungkin sekali ia dikorbankan karena ketidaktahuannya itu. Sementara orang yang mengambil manfaat dari perkara itu bisa melenggang dengan merdeka seperti tanpa dosa.
GELEM JAMURE EMOH WATANGE
Pepatah Jawa di atas secara harfiah berarti mau
jamurnya tidak mau bangkainya.
Pepatah tersebut secara luas ingin menggambarkan keadaan (seseorang) yang hanya mau enaknya tetapi tidak mau jerih payahnya. Hal ini bisa dicontohkan dengan misalnya sebuah perhelatan besar di sebuah dusun atau organisasi. Ketika persiapan, kerja bakti, dan lain-lain sedang dilakukan ada orang yang tidak mau terlibat karena mungkin takut kotor, takut capai, takut dianggap pekerja kasar, takut dianggap sebagi buruh yang tidak berkelas, dan sebagainya.
Akan tetapi ketika perhelatan itu sukses, maka orang yang tadinya tidak mau bekerja kasar itu tiba-tiba mengaku-aku bahwa dialah perancang atau arsiteknya. Jadi dialah yang patut diberi aplaus atau pujian. Bukan yang lain.
Contoh lain dari pepatah ini bisa juga dilihat misalnya dalam sebuah kerja bareng masak-memasak. Ketika semua orang terlibat urusn memasak, ada satu dua orang yang hanya berlaku atau berlagak seperti mandor. Akan tetapi begitu masakan itu matang orang yang berlagak seperti mandor itu justru yang makan pertama kali bahkan tidak memikirkan cukup tidaknya makanan tersebut bagi orang lain yang telah mempersiapkannya.
Pepatah tersebut secara luas ingin menggambarkan keadaan (seseorang) yang hanya mau enaknya tetapi tidak mau jerih payahnya. Hal ini bisa dicontohkan dengan misalnya sebuah perhelatan besar di sebuah dusun atau organisasi. Ketika persiapan, kerja bakti, dan lain-lain sedang dilakukan ada orang yang tidak mau terlibat karena mungkin takut kotor, takut capai, takut dianggap pekerja kasar, takut dianggap sebagi buruh yang tidak berkelas, dan sebagainya.
Akan tetapi ketika perhelatan itu sukses, maka orang yang tadinya tidak mau bekerja kasar itu tiba-tiba mengaku-aku bahwa dialah perancang atau arsiteknya. Jadi dialah yang patut diberi aplaus atau pujian. Bukan yang lain.
Contoh lain dari pepatah ini bisa juga dilihat misalnya dalam sebuah kerja bareng masak-memasak. Ketika semua orang terlibat urusn memasak, ada satu dua orang yang hanya berlaku atau berlagak seperti mandor. Akan tetapi begitu masakan itu matang orang yang berlagak seperti mandor itu justru yang makan pertama kali bahkan tidak memikirkan cukup tidaknya makanan tersebut bagi orang lain yang telah mempersiapkannya.
KAYA KODHOK KETUTUPAN BATHOK
Pepatah Jawa di atas secara harfiah berarti seperti katak di dalam tempurung. Apa yang dilihat, diketahui, dan dirasakan katak di dalam tempurung tentunya hanyalah dunia di dalam tempurung itu. Katak tidak akan melihat suasana atau dunia di luar tempurung itu.
Secara luas pepatah ini ingin mengatakan bahwa orang yang pikiran, referensi, pengetahuan, dan pengalamannya tidak banyak tentu tidak akan tahu banyak hal. Orang yang tidak meluaskan pengalamannya hanya akan berbicara hal-hal yang sempit, sebatas yang dia ketahui. Orang yang pengetahuannya masih sedikit sebaiknya tidak berlaku seperti katak dalam tempurung. Karena katak di dalam tempurung itu yang dia ketahui hanya sebatas dunia tempurung itu. Ia tidak tahu ada dunia yang lebih luas di luar sana. Untuk itu orang diharapkan untuk meluaskan pengetahuannya agar tidak bersikap seperti katak dalam tempurung.
Orang yang seperti katak dalam tempurung, biasanya akan bersikap sombong atau angkuh dan sok tahu padahal dia sebenarnya belum tahu apa-apa atau pengetahuannya masih sedikit/dangkal.[/justify]
SAPA GAWE BAKAL NGANGGO
Peribahasa atau pepatah Jawa di atas secara harfiah
berarti siapa membuat bakal memakai. Secara luas pepatah tersebut
bermakna bahwa siapa pun yang membuat sesuatu dia sendirilah yang akan
memakainya. Artinya, bahwa apa pun yang dilakukan seseorang, dia
sendirilah yang akan bertanggung jawab.
Jika seseorang berbuat baik, maka ia pulalah yang akan memakai kebaikan itu. Demikian juga jika ia berbuat sebaliknya. Pepatah ini sesungguhnya merupakan representasi dari kepercayaan akan adanya hukum karma atau hukum keseimbangan alam. Oleh karena itu bagi masyarakat yang mempercayai hal itu mereka akan sangat hati-hati untuk berbuat karena mereka sadar bahwa perbuatannya akan berdampak pada dirinya sendiri dan mungkin kepada famili dan keturunannya.
Hal seperti dapat dicontohkan misalnya apabila kita merusak alam, maka alam akan hancur dan kehancuran alam itu akan berdampak menghancurkan hidup kita. Dapat juga dicontohkan misalnya apabila kita selalu berbuat jahat kepada orang lain, entah disengaja atau tidak kita pun kelak akan dijahati atau dirugikan oleh tindakan orang lain atau oleh alam. Mungkin juga akibat perbuatan kita itu maka keturunan kitalah yang akan menerima akibat atau resikonya.
Jika seseorang berbuat baik, maka ia pulalah yang akan memakai kebaikan itu. Demikian juga jika ia berbuat sebaliknya. Pepatah ini sesungguhnya merupakan representasi dari kepercayaan akan adanya hukum karma atau hukum keseimbangan alam. Oleh karena itu bagi masyarakat yang mempercayai hal itu mereka akan sangat hati-hati untuk berbuat karena mereka sadar bahwa perbuatannya akan berdampak pada dirinya sendiri dan mungkin kepada famili dan keturunannya.
Hal seperti dapat dicontohkan misalnya apabila kita merusak alam, maka alam akan hancur dan kehancuran alam itu akan berdampak menghancurkan hidup kita. Dapat juga dicontohkan misalnya apabila kita selalu berbuat jahat kepada orang lain, entah disengaja atau tidak kita pun kelak akan dijahati atau dirugikan oleh tindakan orang lain atau oleh alam. Mungkin juga akibat perbuatan kita itu maka keturunan kitalah yang akan menerima akibat atau resikonya.
TUNGGAK JARAK MRAJAK TUNGGAK JATI MATI
Pepatah Jawa ini secara harfiah berarti tunggak (pohon)
jarak menjadi banyak tunggak jati mati. Mrajak dalam khasanah bahasa
Jawa dapat diartikan sebagai berkembang biak. Dalam realitasnya pohon
jarak memang akan bertunas kembali meskipun batangnya dipatahkan.
Sedangkan tanaman jati bila dipotong batangnya biasanya akan mati.
Jikalau tumbuh tunas baru, biasanya tunas baru ini tidak akan tumbuh
sesempurna batang induknya.
Pepatah ini ingin menggambarkan tentang keadaan orang dari kalangan kebanyakan yang bisa berkembang (mrajak) dan sebaliknya, orang dari kalangan/trah bangsawan/berkedudukan tinggi yang tidak punya generasi penerus (mati). Keadaan semacam ini kerap terjadi di tengah-tengah masyarakat. Ada begitu banyak orang yang memiliki kedudukan tinggi, namun ia berasal dari kalangan rakyat biasa. Artinya, orang tuanya adalah orang biasa-biasa saja. Tidak kaya, tiak berpangkat, dan tidak memiliki garis keturunan bangsawan (jati).
Sebaliknya pula banyak anak-anak atau keturunan orang-orang besar/berkedudukan/berdarah bangsawan yang keturunannya tidak mengikuti atau tidak bisa meniru atau melebihi kedudukan leluhurnya.
Pepatah ini ingin menggambarkan tentang keadaan orang dari kalangan kebanyakan yang bisa berkembang (mrajak) dan sebaliknya, orang dari kalangan/trah bangsawan/berkedudukan tinggi yang tidak punya generasi penerus (mati). Keadaan semacam ini kerap terjadi di tengah-tengah masyarakat. Ada begitu banyak orang yang memiliki kedudukan tinggi, namun ia berasal dari kalangan rakyat biasa. Artinya, orang tuanya adalah orang biasa-biasa saja. Tidak kaya, tiak berpangkat, dan tidak memiliki garis keturunan bangsawan (jati).
Sebaliknya pula banyak anak-anak atau keturunan orang-orang besar/berkedudukan/berdarah bangsawan yang keturunannya tidak mengikuti atau tidak bisa meniru atau melebihi kedudukan leluhurnya.
ADIGANG, ADIGUNG, ADIGUNA, ADIWICARA
Pepatah Jawa
ini dapat diterjemahkan sebagai mengunggul-unggulkan atau menyombongkan
keelokan badan atau wajah, menyombongkan besarnya tubuh atau garus
keturunan, menyombongkan ilmu atau pengetahuannya, dan menyombongkan
kelihaian bicara atau merdunya suara.
Pepatah tersebut digunakan untuk menasihati orang agar tidak menyombongkan apa pun yang dimilikinya. Orang yang merasa diri mempunyai sesuatu, apa pun itu, kadang-kadang memang menjadi lupa bahwa semua itu hanyalah titipan dari Yang Maha Kuasa. Kesombongan karena merasa diri lebih dari orang lain ini sangat sering mengakibatkan orang yang bersangkutan berlaku semena-mena terhadap orang lain.
Orang yang merasa diri elok rupawan, punya kecenderungan menganggap orang lain tidak seelok dirinya. Orang yang menganggap dirinya besar dan kuat akan menganggap orang lain lemah. Orang yang merasa dirinya keturunan orang hebat berkecenderungan menganggap orang lain adalah keturunan orang rendahan atau tidak punya kelas sosial. Orang yang menganggap dirinya pintar cenderung menggurui dan menganggap orang lain tidak tahu apa-apa. Orang yang merasa dirinya pandai bicara akan berkecenderungan mempengaruhi orang lain dengan kelihaiannya berbicara.
Hal seperti itu dalam masyarakat Jawa dicontohkan dalam perilaku kijang atau menjangan (adigang). Kijang menganggap bahwa tanduknya adalah benda yang paling elok di dunia. Namun ia mati juga karena tanduknya itu. Entah karena diburu, entah karena tanduknya tersangkut belukar.
Perilaku adigung dicontohkan oleh binatang gajah yang tubuhnya demikian besar dan kuat. Ia merasa bahwa segalanya bisa diatasi dengan kekuatannya. Namun ia mati karena bobot tubuhnya itu karena ketika terperosok ke dalam lubang ia tidak bisa mengangkat tubuhnya keluar (saking beratnya).
Perilaku adiguna dicontohkan dengan perilaku ular yang berbisa. Ia menyombongkan bisanya yang hebat, namun mati di tangan anak gembala hanya dengan satu sabetan ranting kecil.
Perilaku adiwicara dicontohkan dalam perilaku burung yang merdu dan lihai berkicau. Ia merasa bahwa kicauannya tidak ada tandingannya di seluruh hutan, namun ia mati oleh karena melalui kicauannya itu pemburu menjadi tahu tempat bersembunyi atau tempat bertenggernya.
Pepatah tersebut digunakan untuk menasihati orang agar tidak menyombongkan apa pun yang dimilikinya. Orang yang merasa diri mempunyai sesuatu, apa pun itu, kadang-kadang memang menjadi lupa bahwa semua itu hanyalah titipan dari Yang Maha Kuasa. Kesombongan karena merasa diri lebih dari orang lain ini sangat sering mengakibatkan orang yang bersangkutan berlaku semena-mena terhadap orang lain.
Orang yang merasa diri elok rupawan, punya kecenderungan menganggap orang lain tidak seelok dirinya. Orang yang menganggap dirinya besar dan kuat akan menganggap orang lain lemah. Orang yang merasa dirinya keturunan orang hebat berkecenderungan menganggap orang lain adalah keturunan orang rendahan atau tidak punya kelas sosial. Orang yang menganggap dirinya pintar cenderung menggurui dan menganggap orang lain tidak tahu apa-apa. Orang yang merasa dirinya pandai bicara akan berkecenderungan mempengaruhi orang lain dengan kelihaiannya berbicara.
Hal seperti itu dalam masyarakat Jawa dicontohkan dalam perilaku kijang atau menjangan (adigang). Kijang menganggap bahwa tanduknya adalah benda yang paling elok di dunia. Namun ia mati juga karena tanduknya itu. Entah karena diburu, entah karena tanduknya tersangkut belukar.
Perilaku adigung dicontohkan oleh binatang gajah yang tubuhnya demikian besar dan kuat. Ia merasa bahwa segalanya bisa diatasi dengan kekuatannya. Namun ia mati karena bobot tubuhnya itu karena ketika terperosok ke dalam lubang ia tidak bisa mengangkat tubuhnya keluar (saking beratnya).
Perilaku adiguna dicontohkan dengan perilaku ular yang berbisa. Ia menyombongkan bisanya yang hebat, namun mati di tangan anak gembala hanya dengan satu sabetan ranting kecil.
Perilaku adiwicara dicontohkan dalam perilaku burung yang merdu dan lihai berkicau. Ia merasa bahwa kicauannya tidak ada tandingannya di seluruh hutan, namun ia mati oleh karena melalui kicauannya itu pemburu menjadi tahu tempat bersembunyi atau tempat bertenggernya.
ADOH TANPA WANGENAN CEDHAK DATAN SENGGOLAN
Pepatah Jawa tersebut
secara harfiah berarti jauh tanpa ukuran dekat tidak senggolan. Pepatah
ini dalam masyarakat Jawa biasanya digunakan untuk menggambarkan
keberadaan kekasih atau Tuhan.
Orang yang tengah dilanda cinta biasanya akan merasa kangen terus dengan orang yang dijatuhcintainya. Jika kekasih tersebut tidak berada di sisinya, memang terasa begitu jauh keberadaannya. Namun di balik itu sesungguhnya sang kekasih juga sangat dekat dengan dirinya, yakni berada di dalam hatinya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kekasih itu berada jauh namun sesungguhnya jua sangat dekat. Sekalipun kedekatan (di hati) itu menyebabkannya tidak bisa bersentuhan atau bersenggolan.
Hal yang sama juga sering digunakan untuk menggambarkan keberadaan Tuhan bagi manusia. Kadang orang merasa bahwa Tuhan demikian jauh, seolah-olah berada di atas langit lais ke tujuh yang jaraknya tidak dapat diukur. Namun sesungguhnya Tuhan juga begitu dekat terasa di hati masing-masing orang. Sekalipun begitu manusia tidak bisa memegangnya.
Orang yang tengah dilanda cinta biasanya akan merasa kangen terus dengan orang yang dijatuhcintainya. Jika kekasih tersebut tidak berada di sisinya, memang terasa begitu jauh keberadaannya. Namun di balik itu sesungguhnya sang kekasih juga sangat dekat dengan dirinya, yakni berada di dalam hatinya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kekasih itu berada jauh namun sesungguhnya jua sangat dekat. Sekalipun kedekatan (di hati) itu menyebabkannya tidak bisa bersentuhan atau bersenggolan.
Hal yang sama juga sering digunakan untuk menggambarkan keberadaan Tuhan bagi manusia. Kadang orang merasa bahwa Tuhan demikian jauh, seolah-olah berada di atas langit lais ke tujuh yang jaraknya tidak dapat diukur. Namun sesungguhnya Tuhan juga begitu dekat terasa di hati masing-masing orang. Sekalipun begitu manusia tidak bisa memegangnya.
SADUMUK BATHUK SANYARI BUMI DITOHI PATI
Pepatah Jawa ini secara harfiah berarti satu sentuhan
dahi, satu jari (lebar)-nya bumi bertaruh kematian. Secara luas pepatah
tersebut berarti satu sentuhan pada dahi dan satu pengurangan ukuran
atas tanah (bumi) selebar jari saja bisa dibayar, dibela dengan nyawa
(pati).
Pepatah di atas sebenarnya secara tersirat ingin menegaskan bahwa tanah dan kehormatan atau harga diri bagi orang Jawa merupakan sesuatu yang sangat penting. Bahkan orang pun sanggup membela semuanya itu dengan taruhan nyawanya. Sentuhan di dahi oleh orang lain bagi orang Jawa dapat dianggap sebagai penghinaan. Demikian pula penyerobotan atas kepemilikan tanah walapun luasnya hanya selebar satu jari tangan. Sadumuk bathuk juga dapat diartikan sebagai wanita/pria yang telah syah mempunyai pasangan hidup pantang dicolek atau disentuh oleh orang lain. Bukan masalah rugi secara fisik, tetapi itu semua adalah lambang kehormatan atau harga diri.
Artinya, keduanya itu tidak dipandang sebagai sesuatu yang lahiriah atau tampak mata semata, tetapi lebih dalam maknanya dari itu. Keduanya itu identik dengan harga diri atau kehormatan. Jika keduanya itu dilanggar boleh jadi mereka akan mempertaruhkannya dengan nyawa mereka.
Pepatah di atas sebenarnya secara tersirat ingin menegaskan bahwa tanah dan kehormatan atau harga diri bagi orang Jawa merupakan sesuatu yang sangat penting. Bahkan orang pun sanggup membela semuanya itu dengan taruhan nyawanya. Sentuhan di dahi oleh orang lain bagi orang Jawa dapat dianggap sebagai penghinaan. Demikian pula penyerobotan atas kepemilikan tanah walapun luasnya hanya selebar satu jari tangan. Sadumuk bathuk juga dapat diartikan sebagai wanita/pria yang telah syah mempunyai pasangan hidup pantang dicolek atau disentuh oleh orang lain. Bukan masalah rugi secara fisik, tetapi itu semua adalah lambang kehormatan atau harga diri.
Artinya, keduanya itu tidak dipandang sebagai sesuatu yang lahiriah atau tampak mata semata, tetapi lebih dalam maknanya dari itu. Keduanya itu identik dengan harga diri atau kehormatan. Jika keduanya itu dilanggar boleh jadi mereka akan mempertaruhkannya dengan nyawa mereka.
NABOK NYILIH TANGAN
Pepatah di atas secara
harfiah berarti memukul meminjam tangan. Secara luas pepatah ini berarti
memukul dengan meminjam tangan orang lain.
Pepatah ini ingin menunjukkan bahwa dalam kehidupan sosial sering ada orang yang bertindak tidak ksatria. Artinya, ketika dia ingin menjatuhkan, menyakiti, menyingkirkan, membunuh, dan melenyapkan orang lain ia tidak bertindak sendiri. Tidak menghadapinya sendiri. Namun dengan menggunakan (meminjam) tangan orang lain sehingga seolah-olah dirinya adalah orang yang bersih, baik, dan suci. Seringkali perkara demikian dibuat sedemikian rupa sehingga orang yang meminjam tangan itu sepertinya tidak terkait dengan persoalan yang tengah terjadi, yang menimpa orang yang kena “pukul” itu.
Ketika orang yang “dituju” dengan meminjam tangan orang lain itu berhasil disingkirkan, maka ia pun akan merasa lega. Puas. Konyolnya pula ia akan tetap merasa sebagai Mr. Clean, sekalipun segala persoalan dan kolusi jahat itu bersumber dari orang yang bersangkutan.
Pepatah ini ingin menunjukkan bahwa dalam kehidupan sosial sering ada orang yang bertindak tidak ksatria. Artinya, ketika dia ingin menjatuhkan, menyakiti, menyingkirkan, membunuh, dan melenyapkan orang lain ia tidak bertindak sendiri. Tidak menghadapinya sendiri. Namun dengan menggunakan (meminjam) tangan orang lain sehingga seolah-olah dirinya adalah orang yang bersih, baik, dan suci. Seringkali perkara demikian dibuat sedemikian rupa sehingga orang yang meminjam tangan itu sepertinya tidak terkait dengan persoalan yang tengah terjadi, yang menimpa orang yang kena “pukul” itu.
Ketika orang yang “dituju” dengan meminjam tangan orang lain itu berhasil disingkirkan, maka ia pun akan merasa lega. Puas. Konyolnya pula ia akan tetap merasa sebagai Mr. Clean, sekalipun segala persoalan dan kolusi jahat itu bersumber dari orang yang bersangkutan.
AJINING RAGA DUMUNUNG ANA ING BUSANA
Secara harfiah pepatah tersebut di
atas berarti harga diri dari fisik (tubuh) terletak pada pakaian.
Pepatah ini ingin menyatakan bahwa jika seseorang berbusana dengan sembarangan di sembarang tempat, maka ketubuhan (dan jati dirinya) tidak akan dihargai oleh orang lain.
Suatu contoh misalnya, kita mengenakan pakaian renang kemudian menemui tamu yang berkunjung ke kita atau sebaliknya. Dapat dibayangkan bagaimana respon atau tanggapan orang lain terhadap kita. Sungguhpun pakaian renang yang kita kenakan berharga jutaan rupiah misalnya, orang tetap tidak akan menghargai kita karena apa yang kita kenakan tidak tepat penempatannya.
Bisa juga diambil contoh kita datang ke sebuah pelayatan, namun kita datang ke sana dengan mengenakan pakaian pesta yang dilengkapi dengan perhiasan. Orang pun bisa menanggapi kita sebagai orang yang tidak bisa menempatkan diri.
Pada intinya pepatah di atas ingin menegaskan kepada kita agar kita mampu menghargai diri sendiri dengan berbusana yang pantas, tempat yang tepat, serta waktu yang sesuai. Dengan begitu kita tidak akan jadi bahan tertawaan, juga tidak akan mengganggu keselarasan hubungan sosial.
Pepatah ini ingin menyatakan bahwa jika seseorang berbusana dengan sembarangan di sembarang tempat, maka ketubuhan (dan jati dirinya) tidak akan dihargai oleh orang lain.
Suatu contoh misalnya, kita mengenakan pakaian renang kemudian menemui tamu yang berkunjung ke kita atau sebaliknya. Dapat dibayangkan bagaimana respon atau tanggapan orang lain terhadap kita. Sungguhpun pakaian renang yang kita kenakan berharga jutaan rupiah misalnya, orang tetap tidak akan menghargai kita karena apa yang kita kenakan tidak tepat penempatannya.
Bisa juga diambil contoh kita datang ke sebuah pelayatan, namun kita datang ke sana dengan mengenakan pakaian pesta yang dilengkapi dengan perhiasan. Orang pun bisa menanggapi kita sebagai orang yang tidak bisa menempatkan diri.
Pada intinya pepatah di atas ingin menegaskan kepada kita agar kita mampu menghargai diri sendiri dengan berbusana yang pantas, tempat yang tepat, serta waktu yang sesuai. Dengan begitu kita tidak akan jadi bahan tertawaan, juga tidak akan mengganggu keselarasan hubungan sosial.
ANCIK-ANCIK PUCUKING ERI
Pepatah
Jawa di atas secara harfiah berarti bertumpu pada ujung duri. Secara
lebih luas pepatah ini ingin menyatakan keadaan yang begitu gawat,
kritis, dan nyaris tidak tertolong lagi. Bisa dibayangkan bagaimana
keadaan seseorang yang bertumpu pada ujung duri. Tentu saja sakit dan
khawatir. Ibaratnya keberlangsungan hidupnya tinggal menunggu ajal
belaka.
Hal seperti itu dapat juga dicontohkan dengan keadaan seseorang yang menerima sebuah surat pemberitahuan bahwa sebentar lagi rumahnya akan digusur. Entah dalam waktu dekat atau jauh, orang tersebut tentu sudah merasakan kekhawatirannya. Kekhawatiran dan ketiadaan harapan ini ibaratnya ancik-ancik pucuking eri.
Hal seperti itu dapat juga dicontohkan dengan keadaan seseorang yang menerima sebuah surat pemberitahuan bahwa sebentar lagi rumahnya akan digusur. Entah dalam waktu dekat atau jauh, orang tersebut tentu sudah merasakan kekhawatirannya. Kekhawatiran dan ketiadaan harapan ini ibaratnya ancik-ancik pucuking eri.
TUNA SATAK BATHI SANAK
Pepatah
Jawa ini secara harfiah berarti rugi satu tak (satu ukuran uang
/segepok uang) untung saudara.
Pepatah ini ingin mengajarkan bahwa sekalipun dalam dunia dagang yang pertimbangan utamanya hanyalah mencari untung dan untung, bagi orang Jawa kerugian sekian uang tidak mengapa asal (masih) bisa mendapatkan sedulur ‘saudara’ atau teman. Teman (dalam arti sesungguhnya) tampaknya memang menjadi pilihan yang lebih mempunyai makna daripada sekadar uang (material).
Pada sisi lain pepatah ini juga mengajarkan bahwa sedulur (sanak) jauh lebih menguntungkan daripada seukuran uang dalam kesesaatan. Jika diulur, maka teman atau sedulur itu di kemudian hari dapat memberikan keuntungan yang jauh lebih besar daripada seukuran uang pada saat transaksi jual beli terjadi. Jika memang sedulur itu menyedulur ‘menyaudara’ dengan kita, dapat dipastikan bahwa ia (mereka) akan membantu kita jika kita mendapatkan kesulitan. Bantuan dari orang yang demikian itu tanpa kita sadari nilainya jauh lebih besar dibandingkan ketika kita mendapatkan uang satak pada saat kita melaksanakan transaksi jual beli di masa lalu.
Dengan adanya rasa menyedulur itu, orang yang bersangkutan tidak akan owel ‘sungkan/enggan’ memberikan bantuannya dalam bentuk apa pun yang sesungguhnya tidak bisa kita ukur dengan sekadar hanya uang atau material. Dalam kali lain, orang yang bersangkutan bisa jadi akan membeli produk atau dagangan yang kita jual tanpa perlu lagi menawar karena di masa lalu ia pernah mendapatkan kemurahan dari kita yang berupa satak (satu ukuran uang).
Pepatah ini sesungguhnya menunjukkan betapa optimisnya orang Jawa dalam menyikapi hidup.
Pepatah ini ingin mengajarkan bahwa sekalipun dalam dunia dagang yang pertimbangan utamanya hanyalah mencari untung dan untung, bagi orang Jawa kerugian sekian uang tidak mengapa asal (masih) bisa mendapatkan sedulur ‘saudara’ atau teman. Teman (dalam arti sesungguhnya) tampaknya memang menjadi pilihan yang lebih mempunyai makna daripada sekadar uang (material).
Pada sisi lain pepatah ini juga mengajarkan bahwa sedulur (sanak) jauh lebih menguntungkan daripada seukuran uang dalam kesesaatan. Jika diulur, maka teman atau sedulur itu di kemudian hari dapat memberikan keuntungan yang jauh lebih besar daripada seukuran uang pada saat transaksi jual beli terjadi. Jika memang sedulur itu menyedulur ‘menyaudara’ dengan kita, dapat dipastikan bahwa ia (mereka) akan membantu kita jika kita mendapatkan kesulitan. Bantuan dari orang yang demikian itu tanpa kita sadari nilainya jauh lebih besar dibandingkan ketika kita mendapatkan uang satak pada saat kita melaksanakan transaksi jual beli di masa lalu.
Dengan adanya rasa menyedulur itu, orang yang bersangkutan tidak akan owel ‘sungkan/enggan’ memberikan bantuannya dalam bentuk apa pun yang sesungguhnya tidak bisa kita ukur dengan sekadar hanya uang atau material. Dalam kali lain, orang yang bersangkutan bisa jadi akan membeli produk atau dagangan yang kita jual tanpa perlu lagi menawar karena di masa lalu ia pernah mendapatkan kemurahan dari kita yang berupa satak (satu ukuran uang).
Pepatah ini sesungguhnya menunjukkan betapa optimisnya orang Jawa dalam menyikapi hidup.
ASU BELANG KALUNG WANG
Peribahasa
atau pepatah Jawa di atas secara harfiah berarti anjing belang
berkalung uang.
Secara lebih jauh pepatah ini inginmenggambarkan keadaan orang yang secara visual buruk atau secara social tidak mempunyai peringkat yang tinggi (tidak berpangkat atau berjabatan) namun ia memiliki kekayaan yang berlimpah.
Asu (anjing) dalam masyarakat Jawa termasuk binatang yang sering digunakan sebagai bahan misuh (memaki). Dengan demikian, ia memiliki derajat yang buruk sekalipun dalam praktek anjing memang banyak digunakan untuk membantu orang terutama dalam soal keamanan. Bukan hanya itu. Asu belang (anjing bercorak/berbulu belang) dalam masyarakat Jawa masa lalu termasuk kategori anjing yang bernilai paling rendah.
Jadi, pepatah di atas ingin menggambarkan orang yang di masyarakat tidak dianggap, namun ia memiliki uang (kekayaan) yang berlimpah sehingga pada akhirnya ia juga didatangi orang (karena yang datang menghendaki uangnya).
Secara lebih jauh pepatah ini inginmenggambarkan keadaan orang yang secara visual buruk atau secara social tidak mempunyai peringkat yang tinggi (tidak berpangkat atau berjabatan) namun ia memiliki kekayaan yang berlimpah.
Asu (anjing) dalam masyarakat Jawa termasuk binatang yang sering digunakan sebagai bahan misuh (memaki). Dengan demikian, ia memiliki derajat yang buruk sekalipun dalam praktek anjing memang banyak digunakan untuk membantu orang terutama dalam soal keamanan. Bukan hanya itu. Asu belang (anjing bercorak/berbulu belang) dalam masyarakat Jawa masa lalu termasuk kategori anjing yang bernilai paling rendah.
Jadi, pepatah di atas ingin menggambarkan orang yang di masyarakat tidak dianggap, namun ia memiliki uang (kekayaan) yang berlimpah sehingga pada akhirnya ia juga didatangi orang (karena yang datang menghendaki uangnya).
NGUNDHUH WOHING PAKARTI
Peribahasa
di atas secara harfiah berarti memanen buah pekerjaan/tindakan. Secara
luas peribahasa ini ingin mengajarkan tentang orang yang menuai dari
buah tindakannya sendiri. Hal ini dapat dicontohkan misalnya karena
seseorang selalu mencelakai atau merugikan orang lain, maka pada suatu
ketika ia pun akan diperlakukan demikian pula oleh orang lain.
Peribahasa ini sesungguhnya merupakan representasi dari paham kepercayaan akan hukum karma yang sampai sekarang masing dianut oleh banyak orang Jawa (Indonesia). Peribahasa tersebut menjadi penanda akan adanya keyakinan hukum harmonium alam raya. Hal ini bisa dicontohkan pula misalnya karena manusia menebangi hutan semaunya, maka bencana banjir, tanah longsor dan kekeringan pun mengancam. Dapat saja terjadi bahwa undhuh-undhuhan atau panen dari pakarti itu tidak mengenai orang yang berbuat namun mengenai saudara, anak, cucu, pasangan hidup, dan keturunannya. Oleh karena itu, bagi orang yang percaya pada paham ini mereka akan takut berbuat negatif karena mereka percaya bahwa hal yang negatif itu nantinya akan mengenai dirinya sendiri, saudara, dan keturunannya.
Peribahasa ini sesungguhnya merupakan representasi dari paham kepercayaan akan hukum karma yang sampai sekarang masing dianut oleh banyak orang Jawa (Indonesia). Peribahasa tersebut menjadi penanda akan adanya keyakinan hukum harmonium alam raya. Hal ini bisa dicontohkan pula misalnya karena manusia menebangi hutan semaunya, maka bencana banjir, tanah longsor dan kekeringan pun mengancam. Dapat saja terjadi bahwa undhuh-undhuhan atau panen dari pakarti itu tidak mengenai orang yang berbuat namun mengenai saudara, anak, cucu, pasangan hidup, dan keturunannya. Oleh karena itu, bagi orang yang percaya pada paham ini mereka akan takut berbuat negatif karena mereka percaya bahwa hal yang negatif itu nantinya akan mengenai dirinya sendiri, saudara, dan keturunannya.
NULUNG MENTHUNG
Pepatah Jawa
di atas secara harfiah berarti menolong mementhung. Secara luas pepatah
ini ingin menggambarkan tentang perilaku orang yang kelihatannya nulung
(menolong), namun sesungguhnya ia mementung (memukul/mencelakai) orang
yang ditolongnya itu.
Hal seperti ini dapat dicontohkan misalnya ada orang yang kesulitan uang. Tiba-tiba datang orang yang menawarkan pinjaman uang. Tentu hal ini disambut dengan gembira. Akan tetapi selang beberapa saat kemudian orang yang dipinjami uang itu akan merasa kecewa karena ia harus mengembalikannya berikut bunganya yang mencekik. Alih-alih ditolong, dia malah justru dicelakakan. Dalam banyak kasus orang yang terlanjur meminjam uang itu terpaksa melepaskan rumah, tanah, dan seluruh harta bendanya karena tidak mampu mengembalikan pinjaman berikut bunganya.
Dapat juga dicontohkan, ada orang yang kelihatannya getol menolong temannya dalam bekerja. Akan tetapi ketika pekerjaan itu berjalan lancar dan sukses dengan tiba-tiba orang yang menolong itu mengklaim bahwa itu semua adalah hasil kerjanya (peran temannya dihapuskan). Sehingga orang yang ditolong bekerja itu tidak pernah dianggap (dihargai) oleh atasan dan bahkan oleh teman yang lainnya.
Hal ini biasa terjadi juga dengan penyerobotan ide atau gagasan. Misalnya A memmpunyai ide. Lalu B berusaha membantu menyelenggarakan ide itu akan tetapi di tengah jalan ide itu diklaim B sebagai idenya belaka.
Hal seperti ini dapat dicontohkan misalnya ada orang yang kesulitan uang. Tiba-tiba datang orang yang menawarkan pinjaman uang. Tentu hal ini disambut dengan gembira. Akan tetapi selang beberapa saat kemudian orang yang dipinjami uang itu akan merasa kecewa karena ia harus mengembalikannya berikut bunganya yang mencekik. Alih-alih ditolong, dia malah justru dicelakakan. Dalam banyak kasus orang yang terlanjur meminjam uang itu terpaksa melepaskan rumah, tanah, dan seluruh harta bendanya karena tidak mampu mengembalikan pinjaman berikut bunganya.
Dapat juga dicontohkan, ada orang yang kelihatannya getol menolong temannya dalam bekerja. Akan tetapi ketika pekerjaan itu berjalan lancar dan sukses dengan tiba-tiba orang yang menolong itu mengklaim bahwa itu semua adalah hasil kerjanya (peran temannya dihapuskan). Sehingga orang yang ditolong bekerja itu tidak pernah dianggap (dihargai) oleh atasan dan bahkan oleh teman yang lainnya.
Hal ini biasa terjadi juga dengan penyerobotan ide atau gagasan. Misalnya A memmpunyai ide. Lalu B berusaha membantu menyelenggarakan ide itu akan tetapi di tengah jalan ide itu diklaim B sebagai idenya belaka.
ILANG-ILANGAN ENDHOG SIJI
Pepatah
Jawa di atas berarti kehilangan satu telur. Pepatah Jawa ini secara
luas ingin menyatakan tentang kepasrahan atau keputusasaan seseorang
(biasanya orang tua) atas perilaku anaknya yang dianggap sudah di luar
batas.
Hal ini dapat dicontohkan misalnya dengan perilaku seorang anak yang demikian durhaka, jahat, brengsek, dan tidak bisa dinasihati lagi. Apa pun nasihat dan oleh siapa pun nasihat itu diberikan seolah memang sudah tidak mempan lagi. Menghadapi hal yang demikian ini biasanya orang tua akan menyerah atau putus asa. Harapan tentang hal-hal yang baik pada anaknya bisa pupus seketika. Dalam kondisi semacam ini orang tua bisa pasrah atau melepaskan harapannya atas anaknya. Dalam hal seperti ini orang tua bisa merasa ikhlas atau melupakan anaknya yang sudah bisa ditolong lagi tersebut.
Harapan orang tua akan ditambatkan pada anak-anaknya yang lain. Ibarat induk mengerami telur dalam jumlah lebih dari satu, sebuah telur telah direlakannya hilang.
Hal ini dapat dicontohkan misalnya dengan perilaku seorang anak yang demikian durhaka, jahat, brengsek, dan tidak bisa dinasihati lagi. Apa pun nasihat dan oleh siapa pun nasihat itu diberikan seolah memang sudah tidak mempan lagi. Menghadapi hal yang demikian ini biasanya orang tua akan menyerah atau putus asa. Harapan tentang hal-hal yang baik pada anaknya bisa pupus seketika. Dalam kondisi semacam ini orang tua bisa pasrah atau melepaskan harapannya atas anaknya. Dalam hal seperti ini orang tua bisa merasa ikhlas atau melupakan anaknya yang sudah bisa ditolong lagi tersebut.
Harapan orang tua akan ditambatkan pada anak-anaknya yang lain. Ibarat induk mengerami telur dalam jumlah lebih dari satu, sebuah telur telah direlakannya hilang.
NAPAKAKE ANAK PUTU
Pepatah
Jawa di atas secar harfiah berarti bertapa untuk anak cucu. Napakake
berasal dari kata tapa atau bertapa. Napakake berarti bertapa untuk.
Secara luas pepatah ini mengajarkan atau memberikan nasihat agar orang hidup di dunia ini tidak hanya mengejar kepuasan, kepopuleran, dan kesejahteraan dirinya sendiri. Ia harus ingat bahwa ia akan mempunyai keturunan. Keturunan inilah yang perlu dibantu agar hidupnya kelak lancar, sejahtera, dan bahagia. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan bertapa (laku prihatin).
Bertapa dapat disamakan dengan tekun berdoa kepada Tuhan, memohon keridhaanNya agar Tuhan bersedia melimpahkan rahamtNya kepada keturunan yang didoakannya itu. Kecuali berdoa, bertapa juga selalu diikuti dengan pengekangan hawa nafsu, memperbanyak amal kebaikan dengan tanpa pamrih. Semuanya dilakukan dengan keikhlasan hati yang tulus.
Tidak mengherankan jika di lingkungan masyarakat Jawa masa lalu sekalipun ada banyak keluarga hidup dalam kemiskinan mereka tetap menjalaninya dengan tabah dan ikhlas. Mereka menganggap bahwa hal semacam itu merupakan bagian dari perjalanan hidup yang mesti dijalani sekalian sebagai latihan bertapa demi anak cucunya kelak. Tidak mengherankan juga di masa lalu sangat jarang ada orang mengemis dan bertindak kriminal sekalipun masyarakatnya hidup serba kekurangan. Mereka menjalani hidup dengan keikhlasan, apa pun kesulitan yang mereka hadapi. Mereka menyikapi semuanya itu sebagai ganjaran (hadiah) belaka dari Tuhan. Bukan cobaan, tetapi hadiah. Mereka menganggap hal itu sebagai hadiah karena di balik ketidaknimatan hidup itu mereka percaya bahwa mereka sedang diajak untuk memperkaya hati, memperkuat batin, dan lebih dekat kepada Sang Khalik. Itu adalah ganjaran.
Mungkin pepatah semacam di atas masih menjadi pegangan bagi laku hidup mereka di kala itu.
Secara luas pepatah ini mengajarkan atau memberikan nasihat agar orang hidup di dunia ini tidak hanya mengejar kepuasan, kepopuleran, dan kesejahteraan dirinya sendiri. Ia harus ingat bahwa ia akan mempunyai keturunan. Keturunan inilah yang perlu dibantu agar hidupnya kelak lancar, sejahtera, dan bahagia. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan bertapa (laku prihatin).
Bertapa dapat disamakan dengan tekun berdoa kepada Tuhan, memohon keridhaanNya agar Tuhan bersedia melimpahkan rahamtNya kepada keturunan yang didoakannya itu. Kecuali berdoa, bertapa juga selalu diikuti dengan pengekangan hawa nafsu, memperbanyak amal kebaikan dengan tanpa pamrih. Semuanya dilakukan dengan keikhlasan hati yang tulus.
Tidak mengherankan jika di lingkungan masyarakat Jawa masa lalu sekalipun ada banyak keluarga hidup dalam kemiskinan mereka tetap menjalaninya dengan tabah dan ikhlas. Mereka menganggap bahwa hal semacam itu merupakan bagian dari perjalanan hidup yang mesti dijalani sekalian sebagai latihan bertapa demi anak cucunya kelak. Tidak mengherankan juga di masa lalu sangat jarang ada orang mengemis dan bertindak kriminal sekalipun masyarakatnya hidup serba kekurangan. Mereka menjalani hidup dengan keikhlasan, apa pun kesulitan yang mereka hadapi. Mereka menyikapi semuanya itu sebagai ganjaran (hadiah) belaka dari Tuhan. Bukan cobaan, tetapi hadiah. Mereka menganggap hal itu sebagai hadiah karena di balik ketidaknimatan hidup itu mereka percaya bahwa mereka sedang diajak untuk memperkaya hati, memperkuat batin, dan lebih dekat kepada Sang Khalik. Itu adalah ganjaran.
Mungkin pepatah semacam di atas masih menjadi pegangan bagi laku hidup mereka di kala itu.
KAYA NGENTENI THUKULE JAMUR ING MANGSA KETIGA
Pepatah
Jawa di atas secara harfiah berarti seperti menunggui tumbuhnya jamur di
musim kemarau.
Secara luas pepatah tersebut ingin menunjukkan sebuah aktivitas (mengharap sesuatu) yang sia-sia. Jamur identik dengan kelembaban. Kelembaban tidak berkait erat dengan air.
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat sudah bisa mengidentifikasi/memperkirakan bahwa jika musim hujan tiba, maka akan ada banyak jamur bertumbuhan di sembarang tempat. Akan tetapi jika musim kemarau tiba, jamur hampir tidak mungkin didapatkan di mana pun. Berdasarkan ilmu titen inilah kemudian muncul pepatah itu.
Jadi, sangat tidak mungkin mengharapkan tumbuhnya jamur di musim kemarau. Jika kita mempunyai pengharapan yang dinanti namun tidak pernah terwujud itu ibaratnya menunggui tumbuhnya jamur di musim kemarau. Bisa juga pepatah ini digunakan untuk aktivitas menunggu yang amat lama sehingga seperti menunggui sesuatu yang tidak jelas atau tidak berjuntrung.
Secara luas pepatah tersebut ingin menunjukkan sebuah aktivitas (mengharap sesuatu) yang sia-sia. Jamur identik dengan kelembaban. Kelembaban tidak berkait erat dengan air.
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat sudah bisa mengidentifikasi/memperkirakan bahwa jika musim hujan tiba, maka akan ada banyak jamur bertumbuhan di sembarang tempat. Akan tetapi jika musim kemarau tiba, jamur hampir tidak mungkin didapatkan di mana pun. Berdasarkan ilmu titen inilah kemudian muncul pepatah itu.
Jadi, sangat tidak mungkin mengharapkan tumbuhnya jamur di musim kemarau. Jika kita mempunyai pengharapan yang dinanti namun tidak pernah terwujud itu ibaratnya menunggui tumbuhnya jamur di musim kemarau. Bisa juga pepatah ini digunakan untuk aktivitas menunggu yang amat lama sehingga seperti menunggui sesuatu yang tidak jelas atau tidak berjuntrung.
WIT GEDHANG AWOH PAKEL
Pepatah Jawa di atas secara
harfiah diartikan ‘pohon pisang berbuah pakel’ (sejenis mangga yang
sangat harum aromanya jika matang namun agak asam rasanya).
Dalam kehidupan nyata jelaslah amat mustahil terjadi ada pohon pisang yang berbuah pakel. Dari sisi jenis pohon, marga, kelas, dan ordonya saja sudah amat jauh berbeda. Demikian juga sifat-sifat yang dibawanya.
Pepatah ini dalam masyarakat Jawa digunakan untuk menggambarkan betapa mudahnya berbicara atau ngomong. Namun begitu sulitnya melaksanakan, mengerjakan, atau mewujudkannya. Pepatah itu dapat juga digunakan untuk menggambarkan betapa sebuah teori begitu mudah diomongkan atau dituliskan namun tidak mudah untuk dipraktekkan. Begitu mudah nasihat, petuah, pepatah, bahkan kotbah diucapkan, namun untuk pelaksanaannya sungguh tidak mudah. Dibutuhkan perjuangan keras untuk mengendalikan semua pancaindra dalam diri manusia untuk dapat mengarah ke pelaksanaan yang dipandang baik dan benar itu.
Kalimat dalam pepatah tersebut dalam masyarakat Jawa sering kemudian disambung dengan anak kalimat yang berbunyi, omong gampang nglakoni angel ‘omong mudah melaksanakan sulit’.
Dalam kehidupan nyata jelaslah amat mustahil terjadi ada pohon pisang yang berbuah pakel. Dari sisi jenis pohon, marga, kelas, dan ordonya saja sudah amat jauh berbeda. Demikian juga sifat-sifat yang dibawanya.
Pepatah ini dalam masyarakat Jawa digunakan untuk menggambarkan betapa mudahnya berbicara atau ngomong. Namun begitu sulitnya melaksanakan, mengerjakan, atau mewujudkannya. Pepatah itu dapat juga digunakan untuk menggambarkan betapa sebuah teori begitu mudah diomongkan atau dituliskan namun tidak mudah untuk dipraktekkan. Begitu mudah nasihat, petuah, pepatah, bahkan kotbah diucapkan, namun untuk pelaksanaannya sungguh tidak mudah. Dibutuhkan perjuangan keras untuk mengendalikan semua pancaindra dalam diri manusia untuk dapat mengarah ke pelaksanaan yang dipandang baik dan benar itu.
Kalimat dalam pepatah tersebut dalam masyarakat Jawa sering kemudian disambung dengan anak kalimat yang berbunyi, omong gampang nglakoni angel ‘omong mudah melaksanakan sulit’.
KAYA NGENTENI KEREME PRAU GABUS, KUMAMBANGE WATU ITEM
Pepatah Jawa ini
secara harfiah berarti seperti menantikan tenggelamnya perahu gabus,
mengapungnya batu hitam (batu kali).
Perahu yang terbuat dari bahan gabus (semacam stereofoam) tentu sangat muskil untuk tenggelam. Demikian pun batu kali (batu andesit) sangak muskil untuk muncul ke permukaan air.
Secara lebih luas pepatah ini ingin menyatakan akan sebuah usaha yang sia-sia. Usaha yang tingkat keberhasilannya adalah nol persen. Mungkin saja pepatah ini sama artinya dengan pepatah Ibarat menunggu Godod yang sebenarnya diadopsi dari lakon drama karya Samuel Beckett. Drama ini juga menggambarkan akan sebuah penantian yang sia-sia. Penantian pada sesuatu yang tidak akan datang atau terjadi.
Jika kita mengharapkan pada sesuatu yang tidak akan mungkin terjadi, maka apa yang kita lakukan ini sama dengan ngenteni kereme prau gabus, kumambange watu item.
Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani
Pepatah Jawa di atas secara harfiah berarti di depan memberi teladan, di tengah membangun kehendak/karya, mengikuti dari belakang memberikan daya.
Pepatah ini telah menjadi pepatah atau semboyan yang digunakan di dunia pendidikan Indonesia. Maksudnya, tentu sangat mulia agar murid atau siswa-siswa Indonesia bisa berpedoman pada semboyan yang dipopulerkan oleh Ki Hadjar Dewantara itu.
Maksud dari kalimat pertama dari pepatah ini yakni di depan (maksudnya sebagai pemimpin) hendaknya seseorang dapat memberikan teladan atau contoh. Jika seorang pemimpin tidak dapat memberikan keteladanan baik dalam sikap profesionalnya, maupun dalam sikap hidup secara keseluruhannya. Memang manusia tidaklah pernah akan sempurna. Akan tetapi seorang pimpinan hendaknya selalu berusaha menjaga dirinya agar ia benar-benar dapat menjadi teladan bagi bawahan, anak asuh, ataupun anak buahnya.
Kita dapat membayangkan sendiri jika seoang pemimpin dalam profesi maupun tindakannya tidak dapat diteladani, maka sikap atau perilaku anak buahnya pun dapat dipastikan akan lebih buruk daripadanya. Hal ini juga dapat dilihat dalam sebuah sekolah jika guru-gurunya bertindak kurang baik, maka murid-muridnya pun tentu akan bertindak lebih buruk dari gurunya itu. Tidak adanya keteladanan dari pimpinan menyebabkan anak buah akan kehilangan kepercayaan, hormat, dan segala respeknya.
Jika seorang pimpinan berada di tengah-tengah anak buahnya hendaknya ia bisa membangkitkan kegairahan agar anak buah atau anak asuhnya bisa bersemangat untuk berkarya atau bekerja. Di tengah anak buahnya ia hendaknya juga bisa menjadi teman, sahabat, atau partner yang baik.
Apabila seorang pimpinan berada di belakang anak buahnya hendaknya ia bisa mendorong, memotivasi, bahkan juga mencurahkan segala dayanya sehingga anak buahnya bisa benar-benar memiliki daya untuk berkarya.
Perahu yang terbuat dari bahan gabus (semacam stereofoam) tentu sangat muskil untuk tenggelam. Demikian pun batu kali (batu andesit) sangak muskil untuk muncul ke permukaan air.
Secara lebih luas pepatah ini ingin menyatakan akan sebuah usaha yang sia-sia. Usaha yang tingkat keberhasilannya adalah nol persen. Mungkin saja pepatah ini sama artinya dengan pepatah Ibarat menunggu Godod yang sebenarnya diadopsi dari lakon drama karya Samuel Beckett. Drama ini juga menggambarkan akan sebuah penantian yang sia-sia. Penantian pada sesuatu yang tidak akan datang atau terjadi.
Jika kita mengharapkan pada sesuatu yang tidak akan mungkin terjadi, maka apa yang kita lakukan ini sama dengan ngenteni kereme prau gabus, kumambange watu item.
Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani
Pepatah Jawa di atas secara harfiah berarti di depan memberi teladan, di tengah membangun kehendak/karya, mengikuti dari belakang memberikan daya.
Pepatah ini telah menjadi pepatah atau semboyan yang digunakan di dunia pendidikan Indonesia. Maksudnya, tentu sangat mulia agar murid atau siswa-siswa Indonesia bisa berpedoman pada semboyan yang dipopulerkan oleh Ki Hadjar Dewantara itu.
Maksud dari kalimat pertama dari pepatah ini yakni di depan (maksudnya sebagai pemimpin) hendaknya seseorang dapat memberikan teladan atau contoh. Jika seorang pemimpin tidak dapat memberikan keteladanan baik dalam sikap profesionalnya, maupun dalam sikap hidup secara keseluruhannya. Memang manusia tidaklah pernah akan sempurna. Akan tetapi seorang pimpinan hendaknya selalu berusaha menjaga dirinya agar ia benar-benar dapat menjadi teladan bagi bawahan, anak asuh, ataupun anak buahnya.
Kita dapat membayangkan sendiri jika seoang pemimpin dalam profesi maupun tindakannya tidak dapat diteladani, maka sikap atau perilaku anak buahnya pun dapat dipastikan akan lebih buruk daripadanya. Hal ini juga dapat dilihat dalam sebuah sekolah jika guru-gurunya bertindak kurang baik, maka murid-muridnya pun tentu akan bertindak lebih buruk dari gurunya itu. Tidak adanya keteladanan dari pimpinan menyebabkan anak buah akan kehilangan kepercayaan, hormat, dan segala respeknya.
Jika seorang pimpinan berada di tengah-tengah anak buahnya hendaknya ia bisa membangkitkan kegairahan agar anak buah atau anak asuhnya bisa bersemangat untuk berkarya atau bekerja. Di tengah anak buahnya ia hendaknya juga bisa menjadi teman, sahabat, atau partner yang baik.
Apabila seorang pimpinan berada di belakang anak buahnya hendaknya ia bisa mendorong, memotivasi, bahkan juga mencurahkan segala dayanya sehingga anak buahnya bisa benar-benar memiliki daya untuk berkarya.
KUTUK MARANI SUNDUK
Pepatah
Jawa ini secara harfiah berarti kutuk (jenis ikan air tawar yang relatif
besar) mendekati sunduk (penusuk/suji). Secara luas pepatah ini ingin
menyatakan tentang kejadian atau peristiwa dari seseorang atau
sekelompok orang yang mendatangi atau mendekati bahaya atau hal yang
dapat membuatnya celaka.
Sunduk atau penusuk adalah pantangan bagi kutuk sebab pada penusuk itulah nyawa kutuk pasti terancam. Hal demikian dapat juga terjadi pada manusia atau orang. Misalnya, ada orang yang tidak bisa berenang, dengan tiba-tiba ia masuk ke dalam sebuah sungai yang dalam, maka tenggelam dan tewaslah orang itu. Dapat juga dilihat contoh lain misalnya, ada orang mendatangi arena peperangan atau pertikaian. Tanpa diketahui orang tersebut terkena peluru nyasar atau lemparan batu. Hal demikian dapat diibaratkan sebagai kutuk marani sunduk. Tegasnya, orang yang mendatangi marabahaya.
Sunduk atau penusuk adalah pantangan bagi kutuk sebab pada penusuk itulah nyawa kutuk pasti terancam. Hal demikian dapat juga terjadi pada manusia atau orang. Misalnya, ada orang yang tidak bisa berenang, dengan tiba-tiba ia masuk ke dalam sebuah sungai yang dalam, maka tenggelam dan tewaslah orang itu. Dapat juga dilihat contoh lain misalnya, ada orang mendatangi arena peperangan atau pertikaian. Tanpa diketahui orang tersebut terkena peluru nyasar atau lemparan batu. Hal demikian dapat diibaratkan sebagai kutuk marani sunduk. Tegasnya, orang yang mendatangi marabahaya.
MENANG MENENG NGGEMBOL KRENENG
Pepatah Jawa di atas secara harfiah berarti diam-diam
mengantongi kreneng. Kreneng dalam khasanah Jawa menunjuk pada
pengertian sebuah benda menyerupai keranjang yang terbuat dari bilah
bamboo yang diraut tipis dan lentur. Kreneng ini berfungsi untuk
membungkus atau mewadahi barang-barang belanjaan yang dibawa oleh
seseorang. Umumnya kreneng berfungsi sebagai kantong atau tas sementara
yang kemudian bisa dibuang begitu saja setelah barang yang berada di
dalamnya dikeluarkan.
Pepatah Jawa di atas secara luas ingin menggambarkan perilaku seseorang yang di permukaan (fisik, lahiriah) kelihatan pendiam, tidak banyak omong akan tetapi di pikiran dan di hatinya sebenarnya dia tengah mempersiapkan atau menyimpan sesuatu (yang umumnya tidak baik). Entah itu berupa rencana-rencana atau tujuan-tujuan yang tidak mulia. Entah itu rekayasa manipulasi, kebohongan, dan seterusnya.
Pepatah Jawa di atas secara luas ingin menggambarkan perilaku seseorang yang di permukaan (fisik, lahiriah) kelihatan pendiam, tidak banyak omong akan tetapi di pikiran dan di hatinya sebenarnya dia tengah mempersiapkan atau menyimpan sesuatu (yang umumnya tidak baik). Entah itu berupa rencana-rencana atau tujuan-tujuan yang tidak mulia. Entah itu rekayasa manipulasi, kebohongan, dan seterusnya.
DIJUPUK IWAKE AJA NGANTI BUTHEG BANYUNE
Pepatah di atas
secara harfiah berarti diambil ikannya jangan sampai keruh airnya.
Pepatah ini mengandaikan pada sebuah peristiwa perburuan ikan di kolam atau di sebuah sungai. Pada umumnya pengambilan ikan di kolam atau sungai selalu menimbulkan kekeruhan pada air tempat ikan tersebut diambil. Hal ini terjadi karena gerakan tubuh manusia, benda lain, atau bahkan gerakan ikan itu sendiri di dalam air tersebut sehingga mengubak atau mengaduk air kolam/ sungai. Idealnya adalah ikan yang diincar bisa diambil namun air yang melingkupinya jangan sampai menjadi keruh atau butek.
Pepatah ini secara luas menyangkutkan persoalannya pada pengambilan kebijaksanaan atau penyelesaian masalah yang diidealkan jangan sampai menimbulkan korban atau masalah baru. Hal ini dapat dicontohkan misalnya pada kasus pencurian yang dilakukan oleh seseorang di sebuah dusun. Kebetulan ketua dusunnya mengetahui siapa pelaku pencurian itu. Agar masyarakat jangan sampai gaduh dan ribut-ribut nggak karuan, ketua dusun segera datang dan menangkap pencuri tersebut lalu pencuri tersebut disuruh untuk mengembalikan barang-barang yang dicurinya.
Setelah barang yang dicuri dikembalikan, orang yang kehilangan pun lega. Pencurinya tidak digebuki massa. Ketua dusunnya akan semakin naik pamornya karena jeli dan terampil menangani persoalan. Masyarakatnya tetap tenang. Persoalan yang melanda dusun bisa diselesaikan tanpa ribut, tanpa korban, tanpa kegaduhan. Minim resiko.
Pepatah ini mengandaikan pada sebuah peristiwa perburuan ikan di kolam atau di sebuah sungai. Pada umumnya pengambilan ikan di kolam atau sungai selalu menimbulkan kekeruhan pada air tempat ikan tersebut diambil. Hal ini terjadi karena gerakan tubuh manusia, benda lain, atau bahkan gerakan ikan itu sendiri di dalam air tersebut sehingga mengubak atau mengaduk air kolam/ sungai. Idealnya adalah ikan yang diincar bisa diambil namun air yang melingkupinya jangan sampai menjadi keruh atau butek.
Pepatah ini secara luas menyangkutkan persoalannya pada pengambilan kebijaksanaan atau penyelesaian masalah yang diidealkan jangan sampai menimbulkan korban atau masalah baru. Hal ini dapat dicontohkan misalnya pada kasus pencurian yang dilakukan oleh seseorang di sebuah dusun. Kebetulan ketua dusunnya mengetahui siapa pelaku pencurian itu. Agar masyarakat jangan sampai gaduh dan ribut-ribut nggak karuan, ketua dusun segera datang dan menangkap pencuri tersebut lalu pencuri tersebut disuruh untuk mengembalikan barang-barang yang dicurinya.
Setelah barang yang dicuri dikembalikan, orang yang kehilangan pun lega. Pencurinya tidak digebuki massa. Ketua dusunnya akan semakin naik pamornya karena jeli dan terampil menangani persoalan. Masyarakatnya tetap tenang. Persoalan yang melanda dusun bisa diselesaikan tanpa ribut, tanpa korban, tanpa kegaduhan. Minim resiko.
Minggu, 27 April 2014
PENERIMAAN PESERTA DIDIK BARU ( PPDB ) MTs N MODEL BABAKAN TAHUN PELAJARAN 2014 / 2015
1. DASAR PELAKSANAAN
- Keputusan Dirjen Pendis Kemenag RI tanggal 4 April 2014, tentang Pedoman Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun 2014/2015
- Rapat Panitia PPDB MTs Negeri Model Babakan Lebaksiu Tegal tanggal 15 April 2014.
2. WAKTU DAN TEMPAT PENDAFTARAN
Pendaftaran dimulai pada tanggal 9 s.d. 13 Juni 2014 mulai pukul 08.00 s.d.12.00 WIB di MTs Negeri Model Babakan Lebaksiu Tegal.
3. PERSYARATAN
- Beragama Islam
- Berusia maksimal 15 tahun pada tanggal 14 Juli 2014
- Menyerahkan formulir pendaftaran yang telah diisi dengan melampirkan:
- Foto copy akta kelahiran 2lembar
- Foto copy Kartu Keluarga yang ber-NIK 2 lembar
- Foto copy Ijazah SD/MI yang telah dilegalisir sebanyak 3 lembar, atau Surat Keterangan Lulus bagi yang Ijazahnya belum terbit.
- Foto copy Raport kelas V( semester 1 dan 2 ), kelas VI ( semester 1 ) SD / MI yang telah dilegalisir.
- Foto copy kartu NISN ( Nomor Induk Siswa Nasional ) atau Surat Keterangan NISN dari SD/MI.
- Pas foto hitam putih ukuran 3 x 4 sebanyak 3 lembar.
- Sertifikat /piagam prestasi akademik atau non akademik minimal juara III tingkat Kecamatan bagi yang memiliki ( asli ), yang diperoleh pada tahun 2012 sampai dengan tahun2014.
- Sertifikat / piagam TPQ / Ijazah MDA bagi yang memiliki.
- Berkas pendaftaran dimasukkan pada Stopmap berwarna hijau untuk putra dan merah untuk putri.
- Pendaftar harus datang langsung dengan didampingi oleh orang tua / wali, berseragam sekolah asal.
4. SELEKSI
- Seleksi Administrasi ( berkas pendaftaran ).
- Tes tertulis (tes penempatan kelas) tanggal, 14 Juni 2014. Mapel : Bahasa Indonesia, IPA, Matematika dan BTQ. (membawa papan alastulis dan pensil 2B)
5. PENGUMUMAN HASIL SELEKSI
- Pengumuman hasil seleksi tanggal 18 Juni 2014 pukul 09.00 WIB ( didampingi orang tua / wali ).
- Wawancara bagi Peserta Didik yang diterima di Program Fullday School tanggal 18 Juni 2014 pukul 09.30 WIB.
6. LAIN-LAIN
- Calon peserta didik yang dinyatakan diterima dan tidak melaksanakan daftar ulang pada tanggal yang telah ditentukan dinyatakan mengundurkan diri.
- Bagi peserta didik yang tidak diterima berkas dikembalikan.
- Informasi lebih lanjut dapat ditanyakan di sekretariat pendaftaran.
Jumat, 25 April 2014
PERKATAAN YANG HARUS DIHINDARI SEORANG PEMIMPIN
Memang, sudah menjadi hak setiap atasan untuk bebas mengatur bawahan. Namun, Anda juga perlu memperhatikan kode etik seorang atasan agar Anda dicap sebagai atasan yang baik. Jika perilaku atasan terhadap bawahan buruk, tidak bisa menjaga ucapan dan sikap akan berdampak menurunnya produktivitas bawahan Anda sehingga akan merugikan perusahaan dalam mencapai target.
Hal yang perlu Anda lakukan sebagai atasan adalah menjaga beberapa perkataan yang bisa membuat down bawahan Anda. berikut ini beberapa perkataan yang harus Anda hindari sebagai atasan kepada karyawannya.
1. Maaf, saya tidak bisa membantu
Peran atasan adalah selalu siap jika bawahan meminta bantuan untuk mengendalikan sesuatu yang dirasa cukup pelik. Ketika Pada saat-saat sulit, mereka sangat berharap Anda akan turun tangan untuk membantu memecahkan masalah dengan berdiskusi di kantor. Hindari perkataan 'Maaf, saya tidak bisa membantu' atau 'Tidak bisa berbuat apa-apa' sebab hal ini akan membuat bawahan Anda semakin merasa bingung dan serba salah ketika sedang menghadapi masalah.
2. Anda lebih baik daripada saya
Tak ada salahnya seorang atasan memuji bawahannya, bahkan ini bisa menjadi penyemangan bawahan Anda untuk git bekerja. Akan tetapi Anda juga perlu menjaga wibawa Anda dengan jangan mengatakan "Anda lebih baik dari saya" Sebagai bos, tentu saja boleh memuji hasil kerja karyawan yang baik. Namun hindari perkataan 'Anda lebih baik daripada saya'. Perkataan ini hanya akan menunjukkan ketidak-kompetenan Anda dalam memikul tanggung jawab sebagai pemimpin. Sebagai atasan sebaiknya Anda juga perlu membuktikan kemampuan Anda, sehingga karyawan bisa mempercayai Anda dan kemampuan anda.
3. Saya membayar Anda, jadi lakukan seperti apa yang saya perintah
Hindari perkataan di atas karena hanya akan mengurangi kenyamanan bawahan Anda di kantor. Jika Anda mengatakan hal tersebut hal ini juga menunjukkan bahwa Anda seorang diktator yang tidak bisa memahami kesejahteraan karyawan Anda. Karyawan akan sangat senang jika Anda mengharga jerih payah pekerjaan mereka bukan berdasarkan gaji. Karena mereka bukan budak Anda yang setiap saat harus menuruti perintah Anda. Cobalah untuk menghargai pekerjaan bawahan Anda sebagai sebuah investasi untuk mengembangkan perusahaan.
4. Jangan bicarakan itu dengan saya
Di setiap perusahaan, karyawan memiliki hak untuk menanyakan isu-isu tentang pekerjaan. Terkadang, jika isu tersebut menyangkut kesejahteraan mereka, mereka akan menanyakan langsung pada atasan. Sehingga, sebagai atasan, Anda harus bisa memberikan solusi terbaik dengan mengamati isu tersebut lebih rinci. Anda jangan bersikap seolah tidak tahu apa yang terjadi di lingkungan perusahaan. Seorang atasan sebaiknya memberikan solusi dan saran untuk membantu suatu masalah pekerjaan yang dialami oleh karyawan. Hal ini dapat membantu membuktikan bahwa atasan bisa bertanggungjawab atas semua pekerjaan karyawan.
5. Menceritakan masalah pribadi
Kantor bukanlah tempat yang sesuai untuk mengungkapkan masalah pribadi Anda terutama kepada karyawan Anda. Walaupun mungkin karyawan Anda adalah sahabat Anda namun cobalah untuk memisahkan urusan tersebut di luar jam kerja. Sehingga suasana lingkungan kerja yang sehat akan tercipta. Carilah waktu lain di luar jam kerja untuk membicarakan masalah pribadi Anda jika hal itu memang perlu Anda bicarakan.
KIAT SMART MEMILIH SEKOLAH
KIAT SMART MEMILIH SEKOLAH
Oleh :
Isnen Widiyanti, S.Pd
Guru MTs N Model Babakan
Sebagai orangtua, Anda tentu saja ingin memberikan yang terbaik buat buah hati.
Salah satunya dalam bidang pendidikan. Sejatinya, pendidikan sangat penting
bagi anak-anak. Pasalnya, pendidikan terbaik sangat berpengaruh pada kesuksesan
buah hati. Alasan inilah yang membuat orang
tua harus cerdas memilih sekolah yang tepat untuk buah hati. Oleh
karena itu lewat pilihan sekolah yang tepatlah semua itu bisa didapatkan.
Hampir semua
sekolah saat ini mengklaim dirinya sebagai sekolah
unggulan dengan berbagai variasi kata seperti RSBI, Fullday school, sekolah teladan, sekolah
favorit, dsb. Namun nyatanya begitu anak kita disekolahkan di sana
malah dinyatakan bermasalah atau mogok sekolah.Yang lebih buruk lagi sekolah yang mengklaim dirinya unggulan tadi
tidak mampu membuat semua anak menjadi anak yang unggul dibidangnya
masing-masing, padahal untuk bisa masuk saja anak kita harus di saring
dulu, dipilih dulu mana yang layak di didik dan tidak layak didik.
unggulan dengan berbagai variasi kata seperti RSBI, Fullday school, sekolah teladan, sekolah
favorit, dsb. Namun nyatanya begitu anak kita disekolahkan di sana
malah dinyatakan bermasalah atau mogok sekolah.Yang lebih buruk lagi sekolah yang mengklaim dirinya unggulan tadi
tidak mampu membuat semua anak menjadi anak yang unggul dibidangnya
masing-masing, padahal untuk bisa masuk saja anak kita harus di saring
dulu, dipilih dulu mana yang layak di didik dan tidak layak didik.
Sekarang
ini sudah banyak pilihan untuk memasukkan anak-anak ke sekolah. Apalagi
menjelang awal tahun ajaran, sekolah-sekolah tersebut saling berlomba untuk
mempublikasikan keunggulan sekolah masing-masing. Kita sebagai orang tua
setidaknya mengetahui bahwa setiap sekolah mempunyai kelebihan dan kekurangan.
Setiap sekolah baik itu sekolah negeri maupun sekolah swasta pasti mempunyai
tujuan memberikan yang terbaik buat siswanya.
Tidak sedikit
orang tua yang bertindak sebagai perencana tunggal masa depan anak-anaknya.
Ironisnya, mereka terlalu memaksakan kemauan dengan menentukan sekolah yang
akan dimasuki sang anak. Orang tua menginginkan anaknya kelak menjadi dokter,
padahal anak memiliki bakat seni, ingin anaknya menjadi pengacara, anak lebih
menyenangi dunia komputer atau ingin anaknya menjadi artis dan selebritis, anak
malah lebih menyenangi mengkaji ilmu-ilmu agama. Sampai-sampai muncul pula nada
protes anak pada orang tuanya, “Sebenarnya yang mau sekolah itu siapa sih?”
Intervensi
orang tua dalam perencanaan masa depan anak khususnya memilih sekolah memang
sangat diperlukan, namun yang tak kalah penting dan mendasar adalah orang tua
perlu mengetahui dan mengarahkan minat dan bakat anak secara dialogis. Orang
tua pasti lebih tahu minatnya itu mau ke mana–sesuai tidak dengan bakat yang
dimilikinya. Apalagi saat ini anak dituntut harus lebih cerdas menghadapi
dinamika lingkungannya dimana kecerdasan tidak hanya dilihat dari sisi kognitif
dan apektif, tetapi juga psikomotoriknya
Menilik
apa saja yang perlu orang tuaperhatikan sebelum memilih sekolah anak, berikut kiatnya
:
1. Informasi
Jangan bosan mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya mengenai berbagai sekolah, baik melalui internet, media, anggota keluarga lainnya, ataupun lingkungan sekitar Anda. Jika memungkinkan, datanglah ke pameran pendidikan sehingga Orang tua bisa mendapatkan informasi yang lebih lengkap langsung dari sekolah tersebut.
2. Observasi
Setelah menentukan sekolah, jangan segan-segan menanyakan langsung ke pengelola sekolah mengenai profil sekolah, kurikulum, jumlah murid per kelas, latar belakang pendidikan guru, prestasi sekolah, sistem pembayaran sekolah, fasilitas pendidikan, status sekolah, serta pemilik atau yayasan yang menaungi sekolah tersebut.
3. Izin sekolah
Cenderungnya hal yang satu ini jarang ditanyakan oleh orangtua, yakni mengenai izin sekolah. Padahal, tidak jarang sekolah tutup diakibatkan izin gedung dan operasionalnya yang bermasalah. Untuk hal yang satu ini, jika Anda ingin penjelasan yang rinci, Anda bisa tanyakan ke pemerintah daerah setempat.
4. Kondisi fisik sekolah
Lihat juga kondisi bangunan sekolah tersebut, apakah masih layak atau tidak sebagai tempat belajar. Perhatikan kontruksinya. Jika terdapat beberapa bagian bangunan yang retak, tanyakan kepada pengurus sekolah, kapan bangunan tersebut bisa diperbaiki? Selain itu, lihat juga suasana kelas, kantin, fasilitas olah raga, kamar kecil hingga tempat ibadah apakah cukup nyaman untuk buah hati Anda.
5. Guru
Disekolah, anak akan menyerap berbagai nilai dan norma kehidupan. Pilihlah sekolah yang memiliki guru-guru yang bermoral baik dan memiliki latar belakang pendidikan yang layak untuk diperhitungkan, sehingga buah hati pun akan berkembang menjadi anak yang baik dan cerdas.
6. Suasana
Jangan lupa untuk memperhatikan suasana kelas ketika proses belajar mengajar sedang berlangsung. Perhatikan bagaimana interaksi murid dan guru di kelas tersebut. Ini merupakan hak Anda sebagai orangtua untuk melihat dan memantau.
1. Informasi
Jangan bosan mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya mengenai berbagai sekolah, baik melalui internet, media, anggota keluarga lainnya, ataupun lingkungan sekitar Anda. Jika memungkinkan, datanglah ke pameran pendidikan sehingga Orang tua bisa mendapatkan informasi yang lebih lengkap langsung dari sekolah tersebut.
2. Observasi
Setelah menentukan sekolah, jangan segan-segan menanyakan langsung ke pengelola sekolah mengenai profil sekolah, kurikulum, jumlah murid per kelas, latar belakang pendidikan guru, prestasi sekolah, sistem pembayaran sekolah, fasilitas pendidikan, status sekolah, serta pemilik atau yayasan yang menaungi sekolah tersebut.
3. Izin sekolah
Cenderungnya hal yang satu ini jarang ditanyakan oleh orangtua, yakni mengenai izin sekolah. Padahal, tidak jarang sekolah tutup diakibatkan izin gedung dan operasionalnya yang bermasalah. Untuk hal yang satu ini, jika Anda ingin penjelasan yang rinci, Anda bisa tanyakan ke pemerintah daerah setempat.
4. Kondisi fisik sekolah
Lihat juga kondisi bangunan sekolah tersebut, apakah masih layak atau tidak sebagai tempat belajar. Perhatikan kontruksinya. Jika terdapat beberapa bagian bangunan yang retak, tanyakan kepada pengurus sekolah, kapan bangunan tersebut bisa diperbaiki? Selain itu, lihat juga suasana kelas, kantin, fasilitas olah raga, kamar kecil hingga tempat ibadah apakah cukup nyaman untuk buah hati Anda.
5. Guru
Disekolah, anak akan menyerap berbagai nilai dan norma kehidupan. Pilihlah sekolah yang memiliki guru-guru yang bermoral baik dan memiliki latar belakang pendidikan yang layak untuk diperhitungkan, sehingga buah hati pun akan berkembang menjadi anak yang baik dan cerdas.
6. Suasana
Jangan lupa untuk memperhatikan suasana kelas ketika proses belajar mengajar sedang berlangsung. Perhatikan bagaimana interaksi murid dan guru di kelas tersebut. Ini merupakan hak Anda sebagai orangtua untuk melihat dan memantau.
Apabila peran
orang tua mulai diambil dalam memilih sebuah sekolah yang berkualitas, maka ada
beberapa faktoryang perlu orang
tuaperhatikan sebelum memilih sekolah anak, diantaranya :
1.
Visi dan misi sekolah harus jelas
Kebanyakan sekolah kita belum mampu mengartikulasikan
visi dan misinya. Visi adalah pernyataan singkat, mudah diingat, pemberi
semangat, dan obor penerang jalan untuk maju melejit.Misi adalah pernyataan tentang apa yang harus
dikerjakan oleh lembaga pendidikan khususnya dalam usahanya mewujudkan Visi.
2.
Komitmen sekolah tinggi untuk menjadi unggul
Indikatornya adalah staf administrasi, guru, dan
kepala sekolah memiliki tekad yang kuat untuk menjadikan sekolahnya sebagai
sekolah unggul dalam segala aspek, sehingga semua siswa dapat menguasai materi
pokok dalam kurikulum.
3.
Kepemimpinan yang mumpuni
Tidak dipungkiri baik dan buruknya suatu sekolah 80 %
ditentukan oleh kepala sekolahnya. Kepala sekolah adalah “sentral”
sekolah.Kepala sekolah adalah "pemimpin dari pemimpin" bukan
"pemimpin dari pengikut”.
4.
Kesempatan untuk belajar dan pengaturan waktu yang
jelas
Semua guru mengetahui apa yang mesti diajarkan.
Alokasi waktu yang memadai dan penjadwalan yang tepat sangat berpengaruh bagi
kualitas pengajaran.
5.
Lingkungan yang aman dan teratur
Sekolah unggul memiliki suasana tertib, bertujuan,
serius, dan terbebas dari ancaman fisik atau psikis, tidak opresif tetapi
kondusif untuk belajar dan mengajar.
6.
Hubungan yang baik antara rumah dan sekolah
Para orang tuamemahami misi dan visi sekolah. Mereka
diberi kesempatan untuk berperan dalam program demi tercapainya visi dan misi
tersebut.
7.
Monitoring kemajuan siswa secara berkala
Kemajuan siswa dimonitor terus-menerus dan hasil
monitoring itu dipergunakan untuk memperbaiki perilakudan performansi siswa dan
untuk memperbaiki kurikulum secara keseluruhan.
Dari beberapa faktor
tersebut, kita sebagai orang tua dapat mengambil kesimpulan bahwa setiap
sekolah baik itu swasta ataupun negeri memiliki keunggulan dan kekurangan.
Kualitas memang harus kita perhatikan. Satu hal yang harus kita yakini bahwa
sekolah hanyalah salah satu sarana pendidikan penunjang keberhasilan anak dalam
menggapai masa depannya. Tetapi keberhasilan yang lebih penting yaitu
pendidikan moral dan keilmuan yang didapatkan anak ketika dia berada didalam
rumah bersama dengan orang tuanya. Anak yang berhasil mendapatkan pendidikan
nilai moral dan keilmuan terbaik dari orangtua, dimanapun dia bersekolah baik
di swasta ataupun negeri keberhasilan dan kesuksesan akan selalu diraih dengan
gemilang. Jadilah Orang Tua Smart, Wahai Para Orang Tua Indonesia !
Langganan:
Postingan (Atom)