KONSEP WANITA
JAWA DALAM SERAT WULANG ESTRI
BENTUK
MANIFESTASI PERAN KARTINI
Oleh :
ISNEN
WIDIYANTI, S.Pd
Guru Bahasa
Jawa MTs N Model Babakan
(Artikel ini pernah dimuat di Harian Radar Tegal tanggal 21 April 2016)
“Hidup itu akan indah dan berbahagia apabila dalam kegelapan kita melihat cahaya terang”.( R.A.
Kartini)
S
|
epotong kalimat yang diucapkan
R.A Kartini semasa hidupnya ini mampu memberikan arti dan spirit tersendiri
dalam perjuangan meraih persamaan dan kesetaraan gender atau disebut juga
emansipasi. Raden Ajeng Kartini sendiri adalah pahlawan yang mengambil tempat
tersendiri di hati kita dengan segala cita-cita, tekad, dan perbuatannya. Ide-ide
besarnya telah mampu menggerakkan dan mengilhami perjuangan kaum wanita dari kebodohan yang tidak disadari pada masa lalu. Perjuangan memang belum
berakhir, di era globalisasi ini masih banyak dirasakan penindasan dan
perlakuan tidak adil terhadap wanita.
Masyarakat
Jawa adalah golongan masyarakat yang sampai sekarang masih memiliki kontrol sosial kuat, yakni ditandai dengan adanya irama kehidupan
masyarakat yang teratur, nyaman, menghindari gejolak sosial, karena
masing-masing berusaha saling menjaga irama kehidupan tadi. Banyak
istilah sebutan wanita dalam
masyarakat Jawa diantaranya :
Wadon, kata wadon berasal dari
bahasa Kawi yakni “wadu”, yang secara harfiah bermakna kawula atau abdi.
Istilah ini sering di artikan bahwa wanita ditakdirkan menjadi “abdi” (pelayan)
sang guru laki (suami).
Wanita, kata ini wanita tersusun
dari dua kata bahasa jawa yakni “wani” (berani) dan “tata” (teratur). Dalam
pengertian ini wanita memiliki dua pengertian, yaitu wani ditata (berani / mau
diatur) dan wani nata (berani / mau mengatur). Dalam istilah wani ditata
mengandung makna bahwa wanita harus tetap tunduk dan mau untuk diatur suami,
sedangkan istilah wani nata seorang wanita harus berani mengatur rumah tangga,
mendidik anak, serta yang terpenting adalah memenuhi kebutuhan biologis sang
suami.
Estri, kata estri lahir dari bahasa
Kawi yakni “estren”, yang berarti penjurung (pendorong). Dari kata “estren”
lalu terbentuklah kata hangestreni yang berarti mendorong. Dari sini dapat kita
ketahui bahwa seorang estri harus mampu memberi dorongan (motivasi) kepada sang
suami, lebih-lebih jika sang suami dalam keadaan semangatnya melemah.
Putri, yang berarti anak wanita.
Dalam tradisional Jawa, kata ini sering dikatakan sebagai singkatan Putus Tri
Perkawis (gugurnya tiga perkara), yakni seorang wanita dalam kedudukan putri
dituntut untuk menjalankan kewajibannya, baik sebagai wadon, wanita, maupun
estri.
Membicarakan
peranan wanita merupakan topik yang tidak akan pernah habis. Dari berbagai
perspektif dan sudut pandang, permasalahan wanita saat ini masih menjadi
pembicaraan yang up to date. Masalah kewanitaan menjadi tema yang tak
habis-habisnya disoroti oleh aktivis wanita dan kalangan feminis. Dari soal
kepemimpinan, “diskriminasi” peran, partisipasi yang “rendah” karena posisinya
yang dianggap “subordinat”, hingga poligami. Semuanya bermuara pada sebuah
gugatan bahwa wanita harus mempunyai hak yang sama alias sejajar dengan pria.
Seolah-olah terjadi pembedaan (yang membabi buta) antara pria dan wanita.
Adalah
sebuah kenyataan, wanita berbeda dengan pria dalam banyak hal. Dari perbedaan
kondisi fisik, sisi emosional yang menonjol, sifat-sifat bawaan, dan
sebagainya. Secara fisiologis, misalnya, wanita mengalami haid hingga
berkonsekuensi berbeda pada hukum-hukum yang dibebankan atasnya. Sementara dari
kejiwaan, pria umumnya lebih mengedepankan akalnya sehingga lebih bijak,
sementara wanita cenderung mengedepankan emosinya. Namun dengan emosi yang
menonjol itu, wanita patut menjadi ibu yang punya ikatan kuat dengan anak.
Sebaliknya, dengan kelebihannya, laki-laki pantas menjadi pemimpin sekaligus
menjadi tulang punggung dalam rumah tangganya.
Sebenarnya usaha-usaha untuk memperjuangkan kesamaan gender dan peran ganda
wanita telah menunjukkan eksistensinya. Saat ini banyak kaum wanita yang
berprestasi, banyak posisi strategis yang dipegang oleh wanita, seperti
presiden, menteri, pengamat politik, Pegawai Negeri dan wiraswastawan sukses,
serta sebagai pimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Peran ganda wanita yang ideal menutut tugas seorang ibu rumah tangga
sekaligus sebagai wanita karir.
Menurut pandangan dan konsepsi piwulang Jawa dalam Wulang Estri karya Pakubuwono X, yang dimaksud dengan peranan wanita, antara lain wanita harus memiliki
kekuatan, sehingga akan bermuara pada pembebanan wanita dalam dua dunia, yaitu
wanita sebagai isteri dan wanita yang dapat bekerja. Terlepas dari hal tersebut
maka yang dimaksud dengan wanita Jawa dalam konsep pendidikan yang disarikan
dari piwulang Jawa dalam Wulang Estri, maka wanita Jawa yang
diharapkan adalah:
Pertama, wanita harus cakap, artinya
seorang istri harus mampu melaksanakan tugas dan mengetahui seluk beluk kerumahtanggaan, seperti pada ungkapan dalam naskah ini:
Nora gampang babo yang ngalaki, luwih saking abot, kudu weruh ing tata
titine, miwah cara carane lan watake ugi, den awas, den emut.
(Tidak mudah bersuami, sangat berat, harus tahu tata cara dan seluk-beluk
serta sifat-sifat harus awas dan waspada).
Cakap disini dimaknai, seorang
isteri harus dituntut memiliki kelebihan dalam mengatur rumah tangga, yang
dikonsepsikan untuk bisa, menata rumah dengan segala tata cara yang telah
ditentukan menurut adat istiadat. Secara psikologis, wanita atau isteri juga
dituntut memiliki kewaspadaan tinggi. Di samping itu, dalam keluarga, isteri
mempunyai peranan ganda yang cukup penting, karena hak dan kedudukan isteri
harus seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan dan pergaulan
hidup bersama di dalam masyarakat.
Kedua, wanita harus bersifat
cermat, seorang isteri harus mampu memiliki perhitungan yang baik dalam
mengatur segala kegiatan dalam rumah tangga, sebagaimana yang tertuang dalam
ungkapan berikut:
Tan kena tinambak warni, uger-ugere wong krama, kudu eling paitane, eling
kawiseseng priya, nora kena sembrana, kurang titi kurang emut, iku luput
ngambra-ambra.
(Tidak hanya karena wajah, patokan orang berumah tangga, bermodalkan
kesadaran, sadar dikuasai lelaki, maka tidak boleh seenaknya, kurang cermat,
kurang sadar, akan menjadi semakin salah).
Kecermatan yang dimaksudkan
dalam konsep piwulang ini menekankan bahwa seorang wanita harus cermat
memperhitungkan ketelitian serta berpegang kepada ajaran moral.
Ketiga, wanita harus bersikap
tanggap, seorang isteri harus mampu menyesuaikan diri dengan situasi dalam segala
suasana apapun, terutama menjaga hubungan di dalam keluarga serta
lingkungannya. Hal ini digambarkan dalam kitab Wulang Estri sebagai
berikut:
Yen kakung mentas pepara, utawi kondaur tinangkil, netya wong wangen den
awas, menawa animpen runtik, ing madya tan kelair, solahmu kang dhokoh luluh,
aja acelandhakan, jenenge wong nora mikir, yang kebranang dadi aseman duduka.
Apabila seorang suami baru
pulang dari bekerja, maka isteri harus melihat bagaimana kondisi suami,
sehingga isteri harus bisa menyikapinya, dalam melihat situasi perlu dicermati
oleh isteri.
Keempat, terampil. Yang dimaksud di
dalam sikap ini ialah seorang isteri harus mampu bekerja dengan menciptakan
usaha yang bersifat mengatur sistem hubungan kerumahtanggaan beserta
kebutuhannya, seperti pada ungkapan berikut ini:
Marmane ginawan iku, iya dariji jalenthik, dipun kothak akithikan, yen ana
karsaning kakung, karepe kathah thithikan den terampil barang kardi.
(Maksudnya keterampilan yang dimiliki harus dari tangan sendiri atau dengan
jari jemari adalah hasil karya yang dipersiapkan untuk suami dan keluarga).
Kelima, cekatan. Wanita harus bisa
memfokuskan diri kepada ketrampilan
bekerja yang cekatan, walaupun masih dalam batas-batas norma, yang berlaku
sopan santun seperti ungkapan yang berikut ini:
Lamun angladosi kakung, den kebatna ning den risih, aja kebat garobyakan
dredegan saya cinincing, apaan iku kebat nistha, pan rada ngoso ing batin.
(Jika melayani suami sebaiknya dengan tata cara yang halus, jangan terlalu
cepat dan menimbulkan suara, cepat yang baik adalah dengan rasa tetapi bukan
dengan perasaan yang disertai amarah).
Dari penjelasan tersebut dapat
disarikan bahwa, Unsur-unsur pendidikan yang terdapat dalam naskah Wulang Estri
merupakan nilai-nilai watak dan sikap orang Jawa yang dapat dijadikan acuan dan
tolok ukur, bagaimana wanita yang baik dalam pengajaran. Wanita Indonesia khususnya wanita Jawa sebaiknya berusaha untuk mempertahankan kepribadian sesuai dengan
norma-norma yang mengikat yang diatur dalam sistem budaya. Dalam melaksanakan tugas sebagai wanita karir atau wanita yang bekerja di
luar rumah, peran sebagai seorang ibu sebaiknya masih dilaksanakan.
Dalam rangka memperingati Hari
Kartini yang tahun ini jatuh pada tanggal
21 April 2016, wanita Indonesia khususnya wanita Jawa harus mampu bangkit dan
mengoptimalkan partisipasi di berbagai bidang kehidupan. Dengan catatan, jangan
sampai kita pada umumnya dan para wanita Jawa khususnya salah memahami makna
emansipasi wanita.
Mari kita lanjutkan perjuangan
beliau. Tapi jangan sampai kebablasan dengan melupakan harkat dan martabat sebagai
wanita. Perlu diperhatikan oleh seluruh wanita Indonesia, dalam menyikapi spirit perjuangan pahlawan Raden Ajeng (RA)
Kartini jangan hanya diperingati sebagai formalitas semata, tapi, mari hayati
dan implementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar