sugeng rawuh


widget

Jumat, 06 Mei 2016

KONSEP WANITA JAWA DALAM SERAT WULANG ESTRI BENTUK MANIFESTASI PERAN KARTINI

KONSEP WANITA JAWA DALAM SERAT WULANG ESTRI 
BENTUK MANIFESTASI  PERAN KARTINI
Oleh :
ISNEN WIDIYANTI, S.Pd
Guru Bahasa Jawa MTs N Model Babakan
(Artikel ini pernah dimuat di Harian Radar Tegal tanggal 21 April 2016)

Hidup itu akan indah dan berbahagia  apabila  dalam kegelapan kita melihat cahaya terang”.( R.A. Kartini)

S
epotong kalimat yang diucapkan R.A Kartini semasa hidupnya ini mampu memberikan arti dan spirit tersendiri dalam perjuangan meraih persamaan dan kesetaraan gender atau disebut juga emansipasi. Raden Ajeng Kartini sendiri adalah pahlawan yang mengambil tempat tersendiri di hati kita dengan segala cita-cita, tekad, dan perbuatannya.  Ide-ide besarnya telah mampu menggerakkan dan mengilhami perjuangan kaum wanita dari kebodohan yang tidak disadari pada masa lalu. Perjuangan memang belum berakhir, di era globalisasi ini masih banyak dirasakan penindasan dan perlakuan tidak adil terhadap wanita.
Masyarakat Jawa adalah golongan masyarakat yang sampai sekarang masih memiliki kontrol sosial kuat, yakni ditandai dengan adanya irama kehidupan masyarakat yang teratur, nyaman, menghindari gejolak sosial, karena masing-masing berusaha saling menjaga irama kehidupan tadi. Banyak istilah sebutan wanita dalam masyarakat Jawa diantaranya :
Wadon, kata wadon berasal dari bahasa Kawi yakni “wadu”, yang secara harfiah bermakna kawula atau abdi. Istilah ini sering di artikan bahwa wanita ditakdirkan menjadi “abdi” (pelayan) sang guru laki (suami).
Wanita, kata ini wanita tersusun dari dua kata bahasa jawa yakni “wani” (berani) dan “tata” (teratur). Dalam pengertian ini wanita memiliki dua pengertian, yaitu wani ditata (berani / mau diatur) dan wani nata (berani / mau mengatur). Dalam istilah wani ditata mengandung makna bahwa wanita harus tetap tunduk dan mau untuk diatur suami, sedangkan istilah wani nata seorang wanita harus berani mengatur rumah tangga, mendidik anak, serta yang terpenting adalah memenuhi kebutuhan biologis sang suami.
Estri, kata estri lahir dari bahasa Kawi yakni “estren”, yang berarti penjurung (pendorong). Dari kata “estren” lalu terbentuklah kata hangestreni yang berarti mendorong. Dari sini dapat kita ketahui bahwa seorang estri harus mampu memberi dorongan (motivasi) kepada sang suami, lebih-lebih jika sang suami dalam keadaan semangatnya melemah.
Putri, yang berarti anak wanita. Dalam tradisional Jawa, kata ini sering dikatakan sebagai singkatan Putus Tri Perkawis (gugurnya tiga perkara), yakni seorang wanita dalam kedudukan putri dituntut untuk menjalankan kewajibannya, baik sebagai wadon, wanita, maupun estri.
Membicarakan peranan wanita merupakan topik yang tidak akan pernah habis. Dari berbagai perspektif dan sudut pandang, permasalahan wanita saat ini masih menjadi pembicaraan yang up to date. Masalah kewanitaan menjadi tema yang tak habis-habisnya disoroti oleh aktivis wanita dan kalangan feminis. Dari soal kepemimpinan, “diskriminasi” peran, partisipasi yang “rendah” karena posisinya yang dianggap “subordinat”, hingga poligami. Semuanya bermuara pada sebuah gugatan bahwa wanita harus mempunyai hak yang sama alias sejajar dengan pria. Seolah-olah terjadi pembedaan (yang membabi buta) antara pria dan wanita.
Adalah sebuah kenyataan, wanita berbeda dengan pria dalam banyak hal. Dari perbedaan kondisi fisik, sisi emosional yang menonjol, sifat-sifat bawaan, dan sebagainya. Secara fisiologis, misalnya, wanita mengalami haid hingga berkonsekuensi berbeda pada hukum-hukum yang dibebankan atasnya. Sementara dari kejiwaan, pria umumnya lebih mengedepankan akalnya sehingga lebih bijak, sementara wanita cenderung mengedepankan emosinya. Namun dengan emosi yang menonjol itu, wanita patut menjadi ibu yang punya ikatan kuat dengan anak. Sebaliknya, dengan kelebihannya, laki-laki pantas menjadi pemimpin sekaligus menjadi tulang punggung dalam rumah tangganya.
Sebenarnya usaha-usaha untuk memperjuangkan kesamaan gender dan peran ganda wanita telah menunjukkan eksistensinya. Saat ini banyak kaum wanita yang berprestasi, banyak posisi strategis yang dipegang oleh wanita, seperti presiden, menteri, pengamat politik, Pegawai Negeri dan wiraswastawan sukses, serta sebagai pimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Peran ganda wanita yang ideal menutut tugas seorang ibu rumah tangga sekaligus sebagai wanita karir.
Menurut pandangan dan konsepsi piwulang Jawa dalam Wulang Estri karya Pakubuwono X, yang dimaksud dengan peranan wanita, antara lain wanita harus memiliki kekuatan, sehingga akan bermuara pada pembebanan wanita dalam dua dunia, yaitu wanita sebagai isteri dan wanita yang dapat bekerja. Terlepas dari hal tersebut maka yang dimaksud dengan wanita Jawa dalam konsep pendidikan yang disarikan dari piwulang Jawa dalam Wulang Estri, maka wanita Jawa yang diharapkan adalah:
Pertama, wanita harus cakap, artinya seorang istri harus mampu melaksanakan tugas dan mengetahui seluk beluk kerumahtanggaan, seperti pada ungkapan dalam naskah ini:
Nora gampang babo yang ngalaki, luwih saking abot, kudu weruh ing tata titine, miwah cara carane lan watake ugi, den awas, den emut.
(Tidak mudah bersuami, sangat berat, harus tahu tata cara dan seluk-beluk serta sifat-sifat harus awas dan waspada).
Cakap disini dimaknai, seorang isteri harus dituntut memiliki kelebihan dalam mengatur rumah tangga, yang dikonsepsikan untuk bisa, menata rumah dengan segala tata cara yang telah ditentukan menurut adat istiadat. Secara psikologis, wanita atau isteri juga dituntut memiliki kewaspadaan tinggi. Di samping itu, dalam keluarga, isteri mempunyai peranan ganda yang cukup penting, karena hak dan kedudukan isteri harus seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan dan pergaulan hidup bersama di dalam masyarakat.
Kedua, wanita harus bersifat cermat, seorang isteri harus mampu memiliki perhitungan yang baik dalam mengatur segala kegiatan dalam rumah tangga, sebagaimana yang tertuang dalam ungkapan berikut:
Tan kena tinambak warni, uger-ugere wong krama, kudu eling paitane, eling kawiseseng priya, nora kena sembrana, kurang titi kurang emut, iku luput ngambra-ambra.
(Tidak hanya karena wajah, patokan orang berumah tangga, bermodalkan kesadaran, sadar dikuasai lelaki, maka tidak boleh seenaknya, kurang cermat, kurang sadar, akan menjadi semakin salah).
Kecermatan yang dimaksudkan dalam konsep piwulang ini menekankan bahwa seorang wanita harus cermat memperhitungkan ketelitian serta berpegang kepada ajaran moral.
Ketiga, wanita harus bersikap tanggap, seorang isteri harus mampu menyesuaikan diri dengan situasi dalam segala suasana apapun, terutama menjaga hubungan di dalam keluarga serta lingkungannya. Hal ini digambarkan dalam kitab Wulang Estri sebagai berikut:
Yen kakung mentas pepara, utawi kondaur tinangkil, netya wong wangen den awas, menawa animpen runtik, ing madya tan kelair, solahmu kang dhokoh luluh, aja acelandhakan, jenenge wong nora mikir, yang kebranang dadi aseman duduka.
Apabila seorang suami baru pulang dari bekerja, maka isteri harus melihat bagaimana kondisi suami, sehingga isteri harus bisa menyikapinya, dalam melihat situasi perlu dicermati oleh isteri.
Keempat, terampil. Yang dimaksud di dalam sikap ini ialah seorang isteri harus mampu bekerja dengan menciptakan usaha yang bersifat mengatur sistem hubungan kerumahtanggaan beserta kebutuhannya, seperti pada ungkapan berikut ini:
Marmane ginawan iku, iya dariji jalenthik, dipun kothak akithikan, yen ana karsaning kakung, karepe kathah thithikan den terampil barang kardi.
(Maksudnya keterampilan yang dimiliki harus dari tangan sendiri atau dengan jari jemari adalah hasil karya yang dipersiapkan untuk suami dan keluarga).
Kelima, cekatan. Wanita harus bisa memfokuskan diri kepada ketrampilan bekerja yang cekatan, walaupun masih dalam batas-batas norma, yang berlaku sopan santun seperti ungkapan yang berikut ini:
Lamun angladosi kakung, den kebatna ning den risih, aja kebat garobyakan dredegan saya cinincing, apaan iku kebat nistha, pan rada ngoso ing batin.
(Jika melayani suami sebaiknya dengan tata cara yang halus, jangan terlalu cepat dan menimbulkan suara, cepat yang baik adalah dengan rasa tetapi bukan dengan perasaan yang disertai amarah).
Dari penjelasan tersebut dapat disarikan bahwa, Unsur-unsur pendidikan yang terdapat dalam naskah Wulang Estri merupakan nilai-nilai watak dan sikap orang Jawa yang dapat dijadikan acuan dan tolok ukur, bagaimana wanita yang baik dalam pengajaran. Wanita Indonesia khususnya wanita Jawa sebaiknya berusaha untuk mempertahankan kepribadian sesuai dengan norma-norma yang mengikat yang diatur dalam sistem budaya. Dalam melaksanakan tugas sebagai wanita karir atau wanita yang bekerja di luar rumah, peran sebagai seorang ibu sebaiknya masih dilaksanakan.
Dalam rangka memperingati Hari Kartini yang tahun ini  jatuh pada tanggal 21 April 2016, wanita Indonesia khususnya wanita Jawa harus mampu bangkit dan mengoptimalkan partisipasi di berbagai bidang kehidupan. Dengan catatan, jangan sampai kita pada umumnya dan para wanita Jawa khususnya salah memahami makna emansipasi wanita.
Mari kita lanjutkan perjuangan beliau. Tapi jangan sampai kebablasan dengan melupakan harkat dan martabat sebagai wanita. Perlu diperhatikan oleh seluruh wanita Indonesia, dalam menyikapi  spirit perjuangan pahlawan Raden Ajeng (RA) Kartini jangan hanya diperingati sebagai formalitas semata, tapi, mari hayati dan implementasikan dalam kehidupan sehari-hari.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar