sugeng rawuh


widget

Kamis, 12 Maret 2015

Penerapan Unggah Ungguh Bahasa Jawa



PENERAPAN UNGGAH UNGGUH BAHASA JAWA SEBAGAI SALAH SATU
PENUMBUH KARAKTER DAN WATAK BANGSA
Oleh : ISNEN WIDIYANTI S.Pd
Guru Mulok Bahasa Jawa MTs N Model Babakan Tegal

Bangkitnya dunia pendidikan yang dirintis oleh Pahlawan kita Ki Hadjar Dewantara untuk menentang penjajah pada masa lalu, sungguh sangat berarti apabila kita cermati dengan seksama. Untuk itu tidak terlalu berlebihan apabila bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar memperingati hari Pendidikan Nasional yang jatuh setiap tanggal 2 Mei ini, sebagai bentuk refleksi penghargaan sekaligus bentuk penghormatan yang tiada terhingga kepada para Perintis Kemerdekaan dan Pahlawan Nasional. Di samping itu, betapa jiwa nasionalisme dan kejuangannya serta wawasan kebangsaan yang dimiliki para pendahulu kita sangat besar, bahkan rela berkorban demi nusa dan bangsa.
Apabila kita simak bersama, bahwa dalam pendidikan atau mendidik tidak hanya sebatas mentransfer ilmu saja, namun lebih jauh dan lebih utama adalah dapat mengubah atau membentuk karakter dan watak seseorang agar menjadi lebih baik, lebih sopan dalam tataran etika maupun estetika maupun perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sesuai dengan komitmen nasional dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3, bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepadaTuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.
Sejarah membuktikan bahwa kehancuran sebuah bangsa seringkali ditandai oleh runtuhnya watak, pekerti, karakter dan mentalitas masyarakat bangsa tersebut. Karena itu bangsa dengan karakter kuat hanya akan terwujud jika individu-individu di dalam bangsa itu adalah manusia yang berbudaya, berwatak dan berperilaku baik. Hal ini cukup beralasan. Kita harus sadar, bahwa pembentukan karakter dan watak atau kepribadian ini sangat penting, bahkan sangat mendesak dan mutlak adanya (tidak bisa ditawar-tawar lagi). Mengapa mutlak diperlukan? Karena adanya krisis yang terus berkelanjutan melanda bangsa dan negara kita sampai saat ini belum ada solusi secara jelas dan tegas, lebih banyak berupa wacana yang seolah-olah bangsa ini diajak dalam dunia mimpi. Tentu masih ingat beberapa waktu yang lalu Pemerintah mengeluarkan pandangan, bahwa bangsa kita akan makmur, sejahtera nanti di tahun 2030. Suatu pemimpin bangsa yang besar untuk mengajak bangsa atau rakyatnya menjadi "pemimpi" dalam menggapai kemakmuran yang dicita-citakan.
Bahasa Jawa adalah salah satu Mulok dalam struktur kurikulum di tingkat pendidikan SD/MI, SMP/MTs dan SMA/MA/SMK, bahkan di Propinsi Jawa Tengah menjadi mulok wajib bagi semua jenjang pendidikan. Dalam konteks ini pembelajaran Bahasa Jawa mempunyai andil dalam pendidikan watak dan pekerti bangsa bagi generasi muda kita khususnya siswa-siswa kita di sekolah. Pembelajaran Bahasa Jawa akan menjadi salah satu sarana dalam menumbuhkan jati diri bangsa kita yang beradab dan berbudi pekerti luhur.
Pemberdayaan Pembelajaran Bahasa Jawa perlu dioptimalkan dalam upaya mempertahankan kekayaan budaya bangsa yang tidak ternilai harganya, Pembelajaran Bahasa Jawa pada dasarnya dapat dijadikan sarana penanaman watak, pekerti, teerutama melalui penerapan unggah-ungguh pada masyarakat Jawa serta memiliki peran sentral dalam pengembangan watak, dan  pekerti bangsa. Pembelajaran Bahasa Jawa diharapkan dapat membantu peserta didik mengenal dirinya, lingkungannya, menerapkan dalam tata krama budayanya, menghargai potensi bangsanya, sehingga mampu mengemukakan gagasan dan perasaan, berpartisipasi dalam masyarakat, dan dapat menemukan serta menggunakan kemampuan analisis, imajinatif dalam dirinya.
Pembelajaran Bahasa Jawa khususnya dalam penerapan unggah-ungguh oleh siswa dianggap merupakan kompetensi yang paling sulit, karena untuk menerapkan unggah-ungguh diharapkan siswa mampu menguasai kompetensi berbahasa Jawa dengan baik dan benar. Unggah-ungguh dalam berbahasa Jawa sebenarnya secara kelompok besar dikategorikan menjadi tiga jenis yakni ngoko, madya dan krama. Bahkan ketiga kelompok tersebut kemudian diuraikan lagi menjadi 4 ragam, yakni : ngoko lugu, ngoko alus, kromo lugu, dan  kromo alus (menurut kurikulum Berbahasa Jawa Tahun 2010).
Hal ini bertujuan agar mendukung peningkatan ketrampilan berbahasa serta sesuai dengan kebutuhan peserta didik juga memenuhi azas fungsional komunikatif. Para siswa dituntut untuk bisa menerapkan keempat ragam di atas secara laras dan leres, yakni siswa berbicara dengan siapa, dimana, pada posisi bagaimana, misalnya apa sedang bicara dengan anak kecil, teman sebaya, orang tua, guru, orang yang lebih dihormati, dan lain-lain tentulah menggunakan ragam bahasa yang berbeda-beda. Karena sulitnya penerapan unggah-ungguh berbahasa tersebut menyebabkan siswa enggan, malas, kurang prigel kurang mersudi, durung Jawa/ora Jawa, sementara para guru dan orang tua biasanya menyalahkan, menggerutu, nyacat, kurang mencari jalan keluar, untuk itu perlu kiranya kita sebagai guru mencari solusi agar siswa menjadi familiar dengan Bahasa Jawa, tidak lagi takut ataupun ragu-ragu  dalam menerapkan unggah-ungguh. Dengan adanya ragam bahasa yang harus dipilih dalam berkomunikasi  berbahasa Jawa siswa perlu diingatkan akan adanya 4 hal, yakni :
1.      mawas diri (tinggi atau rendah, tua atau muda, posisi/peprenahan serta umur dibandhing dengan yang di ajak bicara ,
2.      mawas ragam yang dipilih (ngoko, krama,atau krama inggi)l, ,
3.      mawas kosakata (jangan sampai keliru ragam krama inggil untuk dirinya sendiri,
4.      mawas sikap (gerak tubuh, mimik, ngapurancang  atau bahkan malang kerik) sesuai dengan situasi dan kondisi yang tepat.
Unggah-ungguh berbahasa merupakan penerapan berbahasa Jawa yang selaras dengan situasi dan kondisi dengan mengingat :
1.      pembicara atau orang pertama (utama purusa),
2.      lawan bicara atau orang kedua (madyama purusa),
3.      orang yang dibicarakan atau orang ketiga (pratama purusa).
Contoh : Orang pertama kepada orang kedua “Panjenengan esuk-esuk kok wis resik-resik ana apa ta?”. Orang kedua menjawab “Apa ora midhanget panjenengan kuwi, menawa Bapak Kepala Madrasah mengko arep rawuh” (Bapak Kepala Madrasahi itu orang ketiga yang disebut oleh orang kedua adalah orang yang dihormati). Contoh aplikasi di kelas ‘Bu guru kula ngrumiyini kondur” Kalimat ini kelihatannya halus namun menurut unggah-ungguh ini salah ada kata kondur. kata kondur termasuk kosakata krama inggil tidak boleh diterapkan untuk diri sendiri / orang pertama. Siswa dianggap “durung Jawa” atau “Ora Jawa” dapat terlihat pada contoh-contoh kalimat yang sering diucapkan siswa seperti :
1.        Aku wis mangan, Bapak yo uwis mangan kok.
2.        Nuwun sewu kula tindak rumiyin.
3.        Malem Minggu Bapak anggone turu nganti wengi.
4.        Sadurunge sekolah aku siram dhisik.
5.        dst.
Padahal yang benar adalah :
1.        Aku wis mangan, Bapak yo uwis dhahar kok.
2.        Nuwun sewu, kula kesah rumiyin.
3.        Malem Minggu Bapak anggone wungu nganti bengi
4.        Sadurunge sekolah aku adus dhisik

Karena sulitnya penerapan unggah-ungguh tersebut maka guru hendaknya secara terus menerus memprogram pembelajaran Bahasa Jawa yang sesuai dengan prinsip, tujuan, materi, metode penerapan dan penilaian agar pembelajaran Bahasa Jawa menjadi pembelajaran yang tidak ditakuti dan disegani oleh siswa. Prinsip dalam pembelajaran Bahasa Jawa yakni harus bertujuan dan terarah, Memerlukan bimbingan, memerlukan pemahaman sehingga diperoleh pemahaman, memerlukan latihan dan ulangan, merupakan proses aktif peserta didik dengan lingkungannya, disertai keinginan dan kemauan untuk mencapai tujuan, disertai proses internalisasi diri dari si pembelajar, dianggap berhasil jika telah sanggup menerapkan dalam praktik kehidupan sehari-hari

Pembelajaran Bahasa Jawa berdasarkan Kurikulum 2010 lebih menekankan kepada pendekatan komunikatif yaitu pembelajaran yang mempermudah para siswa agar lebih akrab dalam pergaulan dengan menggunakan Bahasa Jawa dan melatih siswa untuk lebih senang berbicara menggunakan Bahasa Jawa yang benar dan tetap sesuai dengan situasinya.
Dalam pembelajaran bahasa jawa ada 4 aspek yang diajarkan oleh guru yaitu : Mendengarkan, Berbicara, Membaca, Menulis. Keempat aspek tersebut tidak dapat terpisah antara satu aspek dengan aspek lainnya, dalam pembelajaran hanya penekanannya lebih difokuskan pada salah satu aspek, artinya pada pembelajaran mendengarkan siswa tidak hanya dituntut mendengarkan saja akan tetapi siswa juga harus dapat berbicara, menulis dan mengapresiasikannya dalam bentuk sastra. Peranan guru dalam pengembangan bahasa Jawa terutama penerapan unggah-ungguh sangat penting dan dominan dalam keberhasilan pembelajaran bahasa Jawa. Mengingat guru bahasa Jawa adalah orang-orang yang tugasnya setiap hari membina bahasa Jawa, orang yang semestinya merasa paling bertanggung jawab akan perkembangan bahasa Jawa adalah guru, orang yang selalu akan dituding oleh masyarakat bila hasil pengajaran bahasa Jawa disekolah tidak memuaskan. Guru memegang peranan terpenting dalam menentukan keberhasilan pengajaran. Bagaimanapun baiknya kurikukulum dan lengkapnya sarana prasarana, apabila guru tidak dapat menjalankan tugasnya dengan baik, maka pengajaran pastilah tidak akan memberikan hasil yang memuaskan.
Pada dasarnya pembelajaran Bahasa Jawa pada saat ini diharapkan agar para siswa lebihmenyenangi budaya bangsa khususnya Budaya Jawa. Dengan menumbuhkan cipta, rasa dan karsa, siswa diajak untuk mengenal dan lebih mencintai budaya sendiri, serta mempraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Praktek dalam pembelajaran Bahasa Jawa memasukkan nilai-nilai ke Jawaan yang diharapkan melalui tahapan-tahapan di bawah ini:
1.      Mengkaji SK dan KD untuk menentukan apakah nilai-nilai budaya Jawa/penerapan unggah-ungguh sudah tercakup di dalamnya.
2.      Menggunakan tabel yang memperlihatkan keterkaitan antara SK/ KD dengan nilai dan indikator untuk menentukan nilai budaya Jawa yang akan dikembangkan.
3.      Mencantumkan nilai-nilai budaya Jawa  ke dalam silabus.
4.      Mencantumkan nilai-nilai budaya Jawa yang sudah tercantum dalam silabus ke RPP.
5.      Mengembangkan proses pembelajaran siswa aktif yang memungkinkan peserta didik memiliki kesempatan melakukan internalisasi nilai dan menunjukkannya dalam perilaku yang sesuai.
6.      Memberikan bantuan kepada peserta didik yang mengalami kesulitan untuk internalisasi nilai maupun untuk menunjukkannya dalam perilaku.
Contoh Perencanaan Pengembangan unggah-ungguh yang Dapat Diprogram Guru
1.      Kegiatan Rutin di Sekolah, meliputi : (a) Setiap bertemu dengan siapapun selalu memberi salam, (b) Setiap merasa bersalah meminta maaf (nuwun sewu), (c) Setiap mau mendahului selalu mohon ijin (ndherek langkung), (d) Selalu membiasakan gerakan tubuh (gesture) yang mengisyaratkan kesopanan, contoh : menganggukkan kepala, membungkukkan badan, mengacungkan ibu jari, apabila berjalan dibiasakan untuk selalu hati-hati dan sopan serta gerakan yang pantas.
2.      Kegiatan Spontan, berupa: (a) kegiatan mencatat dan menegur teman yang kurang pas atau keliru atau salah dalam menerapkan unggah-ungguh dan memberi solusinya, (b) memberi penghargaan (prizing) dan menumbuhsuburkan (cherising) tingkah laku, tindak tanduk, tata krama yang sudah sesuai dengan unggah-ungguh.
3.      Teladan Modelling atau Exemplary yaitu dengan mensosialisasikan dan mengimplementasikan unggah-ungguh yang benar dengan model/teladan dari para pendidik dan tenaga kependidikan di sekolah maupun dari siswa yang lebih besar kepada adik kelasnya.
4.      Pengkondisian Sekolah mengkondisikan kehidupan sekolah yang mencerminkan unggah- ungguh yang baik dan benar dalam semua situasi dan kondisi.
Dengan seluruh warga sekolah memiliki komitmen yang kuat serta disiplin yang tinggi untuk mencapai pembiasaan berlaku, bertindak dan bertata krama melalui penerapan unggah-ungguh yang benar senantiasa dibiasakan, sehingga tumbuh kesadaran bahwa penerapan unggah-ungguh mampu sebagai sarana penanaman budi pekerti luhur dalam kehidupan berbangsa dan bernegara maka acting the good  itu berubah menjadi kebiasaan. Sebagaimana butir-butir dalam budaya jawa berikut :
“Titikane aluhur, alusing solah tingkah budi bahasane lan legawaning ati, darbe sifat berbudi bawa leksana.“Ciri-ciri orang luhur ialah tingkah laku dan budi bahasa yang halus, keikhlasan hati, dan rela berkorban, tanpa mendahulukan kepentingan pribadi.


?$urfirjyni=rt\ 2bu/[fni=pzsTuti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar