PENERAPAN UNGGAH UNGGUH
BAHASA JAWA SEBAGAI SALAH SATU
PENUMBUH KARAKTER DAN
WATAK BANGSA
Oleh : ISNEN WIDIYANTI S.Pd
Guru Mulok Bahasa Jawa MTs N Model Babakan Tegal
Bangkitnya dunia pendidikan yang dirintis
oleh Pahlawan kita Ki Hadjar Dewantara untuk menentang penjajah pada masa lalu,
sungguh sangat berarti apabila kita cermati dengan seksama. Untuk itu tidak
terlalu berlebihan apabila bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar
memperingati hari Pendidikan Nasional yang jatuh setiap tanggal 2 Mei ini,
sebagai bentuk refleksi penghargaan sekaligus bentuk penghormatan yang tiada
terhingga kepada para Perintis Kemerdekaan dan Pahlawan Nasional. Di samping
itu, betapa jiwa nasionalisme dan kejuangannya serta wawasan kebangsaan yang
dimiliki para pendahulu kita sangat besar, bahkan rela berkorban demi nusa dan
bangsa.
Apabila kita simak bersama, bahwa dalam
pendidikan atau mendidik tidak hanya sebatas mentransfer ilmu saja, namun lebih
jauh dan lebih utama adalah dapat mengubah atau membentuk karakter dan watak
seseorang agar menjadi lebih baik, lebih sopan dalam tataran etika maupun
estetika maupun perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sesuai
dengan komitmen nasional dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional Pasal 3, bahwa “Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepadaTuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.”
Sejarah membuktikan bahwa kehancuran
sebuah bangsa seringkali ditandai oleh runtuhnya watak, pekerti, karakter dan
mentalitas masyarakat bangsa tersebut. Karena itu bangsa dengan karakter kuat
hanya akan terwujud jika individu-individu di dalam bangsa itu adalah manusia
yang berbudaya, berwatak dan berperilaku baik. Hal ini cukup beralasan. Kita
harus sadar, bahwa pembentukan karakter dan watak atau kepribadian ini sangat
penting, bahkan sangat mendesak dan mutlak adanya (tidak bisa ditawar-tawar
lagi). Mengapa mutlak diperlukan? Karena adanya krisis yang terus berkelanjutan
melanda bangsa dan negara kita sampai saat ini belum ada solusi secara jelas
dan tegas, lebih banyak berupa wacana yang seolah-olah bangsa ini diajak dalam
dunia mimpi. Tentu masih ingat beberapa waktu yang lalu Pemerintah mengeluarkan
pandangan, bahwa bangsa kita akan makmur, sejahtera nanti di tahun 2030. Suatu
pemimpin bangsa yang besar untuk mengajak bangsa atau rakyatnya menjadi
"pemimpi" dalam menggapai kemakmuran yang dicita-citakan.
Bahasa Jawa adalah salah satu Mulok dalam
struktur kurikulum di tingkat pendidikan SD/MI, SMP/MTs dan SMA/MA/SMK, bahkan
di Propinsi Jawa Tengah menjadi mulok wajib bagi semua jenjang pendidikan.
Dalam konteks ini pembelajaran Bahasa Jawa mempunyai andil dalam pendidikan
watak dan pekerti bangsa bagi generasi muda kita khususnya siswa-siswa kita di
sekolah. Pembelajaran Bahasa Jawa akan menjadi salah satu sarana dalam
menumbuhkan jati diri bangsa kita yang beradab dan berbudi pekerti luhur.
Pemberdayaan Pembelajaran Bahasa Jawa
perlu dioptimalkan dalam upaya mempertahankan kekayaan budaya bangsa yang tidak
ternilai harganya, Pembelajaran Bahasa Jawa pada dasarnya dapat dijadikan
sarana penanaman watak, pekerti, teerutama melalui penerapan unggah-ungguh pada
masyarakat Jawa serta memiliki peran sentral dalam pengembangan watak,
dan pekerti bangsa. Pembelajaran Bahasa Jawa diharapkan dapat membantu
peserta didik mengenal dirinya, lingkungannya, menerapkan dalam tata krama
budayanya, menghargai potensi bangsanya, sehingga mampu mengemukakan gagasan
dan perasaan, berpartisipasi dalam masyarakat, dan dapat menemukan serta
menggunakan kemampuan analisis, imajinatif dalam dirinya.
Pembelajaran Bahasa Jawa khususnya dalam
penerapan unggah-ungguh oleh siswa dianggap merupakan kompetensi yang paling
sulit, karena untuk menerapkan unggah-ungguh diharapkan siswa mampu menguasai
kompetensi berbahasa Jawa dengan baik dan benar. Unggah-ungguh dalam berbahasa
Jawa sebenarnya secara kelompok besar dikategorikan menjadi tiga jenis yakni
ngoko, madya dan krama. Bahkan ketiga kelompok tersebut kemudian diuraikan lagi
menjadi 4 ragam, yakni : ngoko lugu, ngoko alus, kromo lugu, dan kromo
alus (menurut kurikulum Berbahasa Jawa Tahun 2010).
Hal ini bertujuan agar mendukung
peningkatan ketrampilan berbahasa serta sesuai dengan kebutuhan peserta didik
juga memenuhi azas fungsional komunikatif. Para siswa dituntut untuk bisa
menerapkan keempat ragam di atas secara laras dan leres, yakni siswa berbicara
dengan siapa, dimana, pada posisi bagaimana, misalnya apa sedang bicara dengan
anak kecil, teman sebaya, orang tua, guru, orang yang lebih dihormati, dan
lain-lain tentulah menggunakan ragam bahasa yang berbeda-beda. Karena sulitnya
penerapan unggah-ungguh berbahasa tersebut menyebabkan siswa enggan, malas,
kurang prigel kurang mersudi, durung Jawa/ora Jawa, sementara para guru dan
orang tua biasanya menyalahkan, menggerutu, nyacat, kurang mencari jalan
keluar, untuk itu perlu kiranya kita sebagai guru mencari solusi agar siswa
menjadi familiar dengan Bahasa Jawa, tidak lagi takut ataupun ragu-ragu
dalam menerapkan unggah-ungguh. Dengan adanya ragam bahasa yang harus dipilih
dalam berkomunikasi berbahasa Jawa siswa perlu diingatkan akan adanya 4
hal, yakni :
1.
mawas diri (tinggi atau rendah, tua atau muda, posisi/peprenahan serta umur
dibandhing dengan yang di ajak bicara ,
2.
mawas ragam yang dipilih (ngoko, krama,atau krama inggi)l, ,
3.
mawas kosakata (jangan sampai keliru ragam krama inggil untuk dirinya
sendiri,
4.
mawas sikap (gerak tubuh, mimik, ngapurancang atau bahkan malang
kerik) sesuai dengan situasi dan kondisi yang tepat.
Unggah-ungguh berbahasa merupakan penerapan berbahasa Jawa yang selaras
dengan situasi dan kondisi dengan mengingat :
1.
pembicara atau orang pertama (utama purusa),
2.
lawan bicara atau orang kedua (madyama purusa),
3.
orang yang dibicarakan atau orang ketiga (pratama purusa).
Contoh : Orang pertama kepada orang kedua “Panjenengan esuk-esuk kok wis
resik-resik ana apa ta?”. Orang kedua menjawab “Apa ora midhanget panjenengan
kuwi, menawa Bapak Kepala Madrasah mengko arep rawuh” (Bapak Kepala Madrasahi
itu orang ketiga yang disebut oleh orang kedua adalah orang yang dihormati).
Contoh aplikasi di kelas ‘Bu guru kula ngrumiyini kondur” Kalimat ini
kelihatannya halus namun menurut unggah-ungguh ini salah ada kata kondur. kata
kondur termasuk kosakata krama inggil tidak boleh diterapkan untuk diri sendiri
/ orang pertama. Siswa dianggap “durung Jawa” atau “Ora Jawa” dapat terlihat
pada contoh-contoh kalimat yang sering diucapkan siswa seperti :
1.
Aku wis mangan, Bapak yo uwis mangan kok.
2.
Nuwun sewu kula tindak rumiyin.
3.
Malem Minggu Bapak anggone turu nganti wengi.
4.
Sadurunge sekolah aku siram dhisik.
5.
dst.
Padahal yang benar
adalah :
1.
Aku wis mangan, Bapak yo uwis dhahar kok.
2.
Nuwun sewu, kula kesah rumiyin.
3.
Malem Minggu Bapak anggone wungu nganti bengi
4.
Sadurunge sekolah aku adus dhisik
Karena sulitnya penerapan unggah-ungguh tersebut maka guru hendaknya secara
terus menerus memprogram pembelajaran Bahasa Jawa yang sesuai dengan prinsip,
tujuan, materi, metode penerapan dan penilaian agar pembelajaran Bahasa Jawa
menjadi pembelajaran yang tidak ditakuti dan disegani oleh siswa. Prinsip dalam
pembelajaran Bahasa Jawa yakni harus bertujuan dan terarah, Memerlukan
bimbingan, memerlukan pemahaman sehingga diperoleh pemahaman, memerlukan
latihan dan ulangan, merupakan proses aktif peserta didik dengan lingkungannya,
disertai keinginan dan kemauan untuk mencapai tujuan, disertai proses
internalisasi diri dari si pembelajar, dianggap berhasil jika telah sanggup
menerapkan dalam praktik kehidupan sehari-hari
Pembelajaran Bahasa Jawa
berdasarkan Kurikulum 2010 lebih menekankan kepada pendekatan komunikatif yaitu
pembelajaran yang mempermudah para siswa agar lebih akrab dalam pergaulan
dengan menggunakan Bahasa Jawa dan melatih siswa untuk lebih senang berbicara
menggunakan Bahasa Jawa yang benar dan tetap sesuai dengan situasinya.
Dalam pembelajaran bahasa jawa ada 4 aspek
yang diajarkan oleh guru yaitu : Mendengarkan, Berbicara, Membaca, Menulis.
Keempat aspek tersebut tidak dapat terpisah antara satu aspek dengan aspek
lainnya, dalam pembelajaran hanya penekanannya lebih difokuskan pada salah satu
aspek, artinya pada pembelajaran mendengarkan siswa tidak hanya dituntut
mendengarkan saja akan tetapi siswa juga harus dapat berbicara, menulis dan
mengapresiasikannya dalam bentuk sastra. Peranan guru dalam pengembangan bahasa
Jawa terutama penerapan unggah-ungguh sangat penting dan dominan dalam
keberhasilan pembelajaran bahasa Jawa. Mengingat guru bahasa Jawa adalah
orang-orang yang tugasnya setiap hari membina bahasa Jawa, orang yang semestinya
merasa paling bertanggung jawab akan perkembangan bahasa Jawa adalah guru,
orang yang selalu akan dituding oleh masyarakat bila hasil pengajaran bahasa
Jawa disekolah tidak memuaskan. Guru memegang peranan terpenting dalam
menentukan keberhasilan pengajaran. Bagaimanapun baiknya kurikukulum dan
lengkapnya sarana prasarana, apabila guru tidak dapat menjalankan tugasnya
dengan baik, maka pengajaran pastilah tidak akan memberikan hasil yang
memuaskan.
Pada dasarnya pembelajaran Bahasa Jawa
pada saat ini diharapkan agar para siswa lebihmenyenangi budaya bangsa
khususnya Budaya Jawa. Dengan menumbuhkan cipta, rasa dan karsa, siswa diajak
untuk mengenal dan lebih mencintai budaya sendiri, serta mempraktikkan dalam
kehidupan sehari-hari. Praktek dalam pembelajaran Bahasa Jawa memasukkan
nilai-nilai ke Jawaan yang diharapkan melalui tahapan-tahapan di bawah ini:
1.
Mengkaji SK dan KD untuk menentukan apakah nilai-nilai budaya
Jawa/penerapan unggah-ungguh sudah tercakup di dalamnya.
2.
Menggunakan tabel yang memperlihatkan keterkaitan antara SK/ KD dengan
nilai dan indikator untuk menentukan nilai budaya Jawa yang akan dikembangkan.
3.
Mencantumkan nilai-nilai budaya Jawa ke dalam silabus.
4.
Mencantumkan nilai-nilai budaya Jawa yang sudah tercantum dalam silabus ke
RPP.
5.
Mengembangkan proses pembelajaran siswa aktif yang memungkinkan peserta
didik memiliki kesempatan melakukan internalisasi nilai dan menunjukkannya
dalam perilaku yang sesuai.
6.
Memberikan bantuan kepada peserta didik yang mengalami kesulitan untuk
internalisasi nilai maupun untuk menunjukkannya dalam perilaku.
Contoh Perencanaan Pengembangan unggah-ungguh yang Dapat Diprogram Guru
1.
Kegiatan Rutin di Sekolah, meliputi : (a) Setiap bertemu dengan siapapun
selalu memberi salam, (b) Setiap merasa bersalah meminta maaf (nuwun sewu), (c)
Setiap mau mendahului selalu mohon ijin (ndherek langkung), (d) Selalu
membiasakan gerakan tubuh (gesture) yang mengisyaratkan kesopanan, contoh :
menganggukkan kepala, membungkukkan badan, mengacungkan ibu jari, apabila
berjalan dibiasakan untuk selalu hati-hati dan sopan serta gerakan yang pantas.
2.
Kegiatan Spontan, berupa: (a) kegiatan mencatat dan menegur teman yang
kurang pas atau keliru atau salah dalam menerapkan unggah-ungguh dan memberi
solusinya, (b) memberi penghargaan (prizing) dan menumbuhsuburkan (cherising)
tingkah laku, tindak tanduk, tata krama yang sudah sesuai dengan unggah-ungguh.
3.
Teladan Modelling atau Exemplary yaitu dengan mensosialisasikan dan
mengimplementasikan unggah-ungguh yang benar dengan model/teladan dari para
pendidik dan tenaga kependidikan di sekolah maupun dari siswa yang lebih besar
kepada adik kelasnya.
4.
Pengkondisian Sekolah mengkondisikan kehidupan sekolah yang mencerminkan
unggah- ungguh yang baik dan benar dalam semua situasi dan kondisi.
Dengan seluruh warga sekolah memiliki komitmen yang kuat serta disiplin
yang tinggi untuk mencapai pembiasaan berlaku, bertindak dan bertata krama
melalui penerapan unggah-ungguh yang benar senantiasa dibiasakan, sehingga
tumbuh kesadaran bahwa penerapan unggah-ungguh mampu sebagai sarana penanaman
budi pekerti luhur dalam kehidupan berbangsa dan bernegara maka acting the
good itu berubah menjadi kebiasaan. Sebagaimana butir-butir dalam budaya
jawa berikut :
“Titikane aluhur, alusing solah tingkah budi bahasane lan
legawaning ati, darbe sifat berbudi bawa leksana.“Ciri-ciri orang luhur
ialah tingkah laku dan budi bahasa yang halus, keikhlasan hati, dan rela
berkorban, tanpa mendahulukan kepentingan pribadi.
?$urfirjyni=rt\
2bu/[fni=pzsTuti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar