sugeng rawuh


widget

Minggu, 27 Oktober 2013

RAHASIA PEMIMPIN IDAMAN

RAHASIA PEMIMPIN IDAMAN
Oleh :
ISNEN WIDIYANTI, S.Pd
Guru MTs N Model Babakan

Mitos kepemimpinan di Indonesia mengatakan bahwa “pemimpin bangsa Indonesia sebaiknya orang Jawa” sebenarnya memiliki makna yang kadangkala ada benarnya. Mengapa saya mengatakan demikian? Memang, salah satu kehebatan Indonesia adalah begitu beragamnya suku dan kaya akan nilai-nilai kehidupan yang luar biasa. Tetapi yang menurut saya menonjol adalah budaya Jawa karena nilai-nilai budayanya menekankan kehalusan budi dan cerita serta etikanya termasuk di dalamnya etika kepemimpinan. Walaupun nilai-nilai kepemimpinan ada di setiap suku dan perlu digali karena tidak kalah maknanya, tetapi nilai budaya Jawa diajarkan di semua lini strata sosial mulai dari elit sampai ke rakyat jelata, sehingga dia menjadi suatu yang nampak dalam praktika.
Kepemimpinan selalu merupakan proses dua arah, yaitu interaksi antara pemimpin dan yang dipimpin. Dalam budaya Jawa, pemimpin itu adalah karena suratan nasib, dan didukung oleh
orang-orang yang ingin dipimpin oleh dirinya. Seorang pemimpin dari dalam lubuk
hatinya tidak pernah ingin dan merasa layak untuk menjadi pemimpin. Bahkan untuk
menghindari bahwa ia diharuskan memimpin, ia akan menceritakan segala
kekurangannya, keterbatasannya, dengan harapan tidak dituntut untuk memimpin.
Bilamana masyarakat tetap berkehendak agar dia yang memimpin, maka ia akan
meminta bantuan dari rakyat agar dirinya dapat memimpin dengan benar. Pemimpin adalah orang yang bekerja untuk melayani orang-orang atau bawahan yang ia pimpin,
dengan cara memberi saluran dan kesempatan bagi bawahannya untuk memperjuangkan kepentingan mereka dalam suasana kompetisi yang sehat.(Dr. Ing.H. Fauzi Bowo, Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta).
Dalam wacana falsafah pewayangan Jawa dikenal suatu konsepsi Ilmu Luhur yang menjadi prinsip dasar kepemimpinan a la Jawa. Yakni ilmu “Hastha Brata” atau dikenal pula sebagai Wahyu Makutha Rama yang diterima Raden Arjuna setelah menjalani “laku” prihatin dengan cara tapa brata dan tarak brata (Lihat : serat Laksita Jati).  Hastha berarti delapan, brata adalah “laku” atau jalan spiritual/rohani. Hastha Brata maknanya adalah delapan “laku” yang harus ditempuh seseorang bila sedang menjalankan tampuk kepemimpinan. Kedelapan “laku” sebagai personifikasi delapan unsur alamiah yang dijadikan panutan watak (watak wantun) seorang pemimpin. Kedelapan unsur tersebut meliputi delapan karakter unsur-unsur alam yakni : bumi, langit, angin, samudra-air, rembulan, matahari, api, dan bintang.
               Bagi masyarakat Jawa, rupanya, sudah tak asing lagi dengan istilah ‘Ilmu Hastha Brata’ yang disosialisasikan dalam pewayangan. ‘Ilmu Hastha Brata’ bukanlah ilmu sembarangan, melainkan ‘ilmu pethingan’. Sebab digambarkan dalam pewayangan, ilmu tersebut telah mengantarkan kesuksesan dua orang Raja besartitisan Bathara Wisnu—yakni Sri Rama Wijaya Raja Ayodya dan Sri Bathara Kresna Raja Dwarawati—dalam memimpin negara.
Lantas, bagaimana rahasia ilmu kenegaraan itu? Dan, bagaimana pula kandungan‘Ilmu Hastha Brata’ hingga membawa kesuksesan bagi Prabu Rama dan Prabu Kresna?
Sebagaimana diketahui, ‘Ilmu Hastha Brata’ adalah meneladani perwatakan 8 (delapan) anasir alam semesta dalam kehidupannya sehari-hari, sebagai berikut:
Pertama, hambeging kisma (wataknya bumi) yang maknanya kaya, suka berderma, kaya hati (lembah manah, legawa). Dalam perspektif tasawuf, misalnya, orang sufi itu diharapkan bisa seperti tanah: tidak nggrundel (keluh kesah) meski dia menjadi jalan yang diinjak-injak orang atau ditempatkan di kandang sapi sekalipun. Namun, tanah ada juga yang dijadikan dinding di rumah-rumah megah atau dijadikan genteng yang berada di atas rumah yang fungsinya melindungi tuan rumah dari panasnya matahari dan turunnya air hujan. Dalam perspektif filosofis kejadian manusia yang berasal dari tanah, jika diteliti secara seksama, sebenarnya tanah lebih kuat dibanding api—yang merupakan asal mula iblis. Meski iblis merasa dirinya lebih baik daripada tanah sehingga menjadi takabur, sebenarnya argumentasi tadi tidak benar. Jika ada api cobalah ditabur dengan tanah secukupnya, niscaya api tadi akan menjadi padam.
Kedua, hambeging tirta (wataknya air) yang maknanya selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah dan selalu bersikap andhap asor anoraga atau rendah hati dalam kehidupan sehari-hari. Sifat orang yang demikian bisa dikatakan “mengalir” saja dalam hidupnya; tak menargetkan sesuatu, tenang dan bening sebagaimana kharakter air, tidak tergesa-gesa, bahkan perilakunya juga lemah-lembut, jauh dari stres atau depresi, dan seterusnya.
Ketiga, hambeging samirana (wataknya angin) yaitu selalu meneliti dan menelusup ke mana-mana, sehingga benar-benar mengetahui secara persis persoalan-persoalan yang ada di masyarakat: bukan hanya sekedar kata orang belaka. Kejeliannya dalam meneliti segala persoalan tadi akhirnya dia berhasil mengetahui data-data di lapangan dengan valid dan akurat. Dampak positifnya adalah menjadi orang yang terpercaya dan dapat dipegang kata-katanya.
Keempat, hambeging samodra (wataknya lautan) yang maknanya luas hatinya dan siap menerima keluhan atau menampung beban orang banyak tanpa perasaan keluh-kesah. Dalam pergaulan sama sekali tidak membeda-bedakan antara golongan atau kelompok yang satu dengan yang lainnya.  Semuanya dianggap sama, sebab semuanya merupakan makhluk ciptaan Tuhan. Dalam konteks keilmuan pun, orang seperti ini biasanya bersikap sangat bijaksana, arif, dan bahkan menerapkan teorinya Bima Sena (dalam pewayangan) atau Sayyidina Abu Bakar r.a: pinter api balilu (orang yang sebenarnya pandai tetapi berlagak seperti orang bodoh). Biasanya orang seperti itu disebut “nyegara”: karena mampu menutupi ilmunya yang luas, sehingga tatkala berhadapan dengan siapa pun saja dengan penyesuaian diri secara sempurna.
Kelima, hambeging candra (wataknya bulan) yakni selalu memberi penerang(pepadhang) kepada siapapun saja dan menggambarkan nuansa keindahan religius-spiritual yang mengarah untuk senantiasa ber-musyahadah (mengingat Allah) kepada kebesaran dan keindahan Tuhan. Terlebih lagi, keindahan rembulan akan lebih nampak bersinar pada malam bulan purnama (Bahasa Jawa: padhang mbulan),sehingga mampu menggungah untuk makin mengingat kebesaran, keindahan, dan keagungan Tuhan. Selain itu, pancaran cahaya rembulan juga mampu menggugah nuansa estetika atau citra seni yang amat tinggi. Mengapa orang-orang kuno dahulu banyak yang berada di luar rumah pada malam bulan purnama? Ternyata, perilaku mereka tadi sangat baik untuk mengobati segala macam penyakit; yakni dengan cara berjemur pada malam bulan purnama.
Keenam, hambeging surya (wataknya matahari) yang maknanya memberikan daya, energi, kekuatan atau power kepada orang lain. Selain itu, ‘perjalanan’ matahari sejak terbit di sebelah timur hingga terbenam di sebelah barat menunjukkan suatu perjalanan yang istiqomah (alon maton, alon-alon asal klakon). Sebagaimana disebutkan dalam bahasan awal, dalam konteks keilmuan yang diambil dari ayat-ayat alam, matahari melambangkan rahmat Tuhan, rembulan melambangkan pemimpin, dan bumi adalah rakyat. Ketika terjadi gerhana matahari—bumi gelap karena sinar matahari tertutup bulan—ilustrasi maknanya adalah pemimpin (bulan) sedang mengalami kegelapan; akibatnya rakyat (bumi) pun juga menjadi gelap. Dan, peristiwa gerhana matahari itu pernah terjadi pada zaman pemerintahan Orde Baru dulu, sedangkan gerhana bulan dua kali terjadi di zaman ketika KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berkuasa. 
Ketujuh, hambeging dahana (wataknya api) yang selalu mampu menyelesaikan masalah dengan adil serta tidak membeda-bedakan antara yang satu dengan yang lainnya (tan pilih kasih). Wataknya api dalam konteks ‘Ilmu Hastha Brata’ ini bersifat positif, karena aplikasinya serius dan mampu menyelesaikan masalah secara tuntas (istilah Jawanya: bisa mrantasi gawe). Sebaliknya, api—yang bersifat negatif—merupakan simbol dari nafsu: yakni nafsu menguasai, menindas, memerintah, mendikte, mendholimi, meminggirkan, bahkan memenjarakan dan menyengsarakan orang lain. Ketika kita makan makanan yang lezat dan nikmat, sebenarnya perut memiliki keterbatasan dengan menampung makanan yang banyak tadi, tetapi si lidah tetap merasa nikmat untuk terus melahap apa saja!
Kedelapan, hambeging kartika (wataknya bintang); yakni menggambarkan kepribadian, maqam atau posisi, bahkan cita-cita yang tinggi, kokoh dan bersifat tetap seperti bintang yang berada di langit. Ungkapan menjadi ‘bintang kelas’, misalnya, hal itu diambil dari filosofi hambeging kartika ini. Begitu pula dengan pangkat yang tinggi dalam kemiliteran pun juga dilambangkan dengan tanda ‘bintang’.
Demikianlah makna dan rahasia kandungan ‘Ilmu Hastha Brata’ yang dimiliki Prabu Rama Wijaya dan Prabu Sri Bathara Kresna; yang juga di-wejangkan kepada Raden Arjuna.
Jika ditelaah lebih mendalam, kajian tentang ‘Ilmu Hastha Brata’ di atas sebenarnya menyangkut dua hal. Pertama, keteladanan seorang pemimpin—Prabu Rama Wijaya dan Prabu Sri Bathara Kresna—yang mampu memimpin negara dengan adil dan bijaksana sehingga namanya harum di mata rakyat. Kedua, dengan meneladani perwatakan delapan alam di atas menyebabkan sang pelaku (pemimpin) secara otomatis masuk ke pendalaman wilayah spiritual-religius. Sebab, alam semesta itu sebenarnya merupakan ayat-ayat Tuhan yang tersirat, sedangkan Kitab Qur’an merupakan ayat Tuhan yang tersurat. Keduanya tidak bersinggungan atau bertabrakan, melainkan berjalan secara selaras dan harmonis. Maka, tidak mustahil bagi yang menjalankan ajaran ‘Ilmu Hastha Brata’ di atas lama-kelamaan akan menjadi insan kamil.
Bila seorang pemimpin bersedia mengadopsi  8 karakter unsur alamiah tersebut, maka ia akan menjadi pemimpin atau raja yang adil, jujur, berwibawa, arif dan bijaksana. Hal ini berlaku pula untuk masyarakat luas, bilamana seseorang dapat mengadopsi ilmu Hastha Brata ia akan menjadi seseorang yang hambeg utama, berwatak mulia, luhur budi pekertinya. Bandingkan, misalnya, dengan penguasa atau pemimpin yang hidup di zaman modern dewasa ini: sudahkah mereka bersungguh-sungguh menyejahterakan kehidupan rakyat kecil? Atau, bahkan, apakah kesungguhan para pemimpin dalam memperjuangkan rakyat kecil tadi hanya sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan yang telah mereka dapatkan saja?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar